Ruang publik virtual kini terasa nyata dan bagian dari keseharian. Sejak pembatasan sosial dilakukan, migrasi ruang publik dari sosial ke virtual terjadi. Media sosial menjadi hingar bingar. Apa yang tak luput, semuanya serba online. Kuliah, diskusi, rapat, belanja, anak sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas belajarnya online.
Namun tentu, seperti halnya ruang publik konvensional, ruang interaksi pada ruang publik virtual ini juga membutuhkan etika atau norma. Sehingga tercipta proses interaksi transpersonal yang beradab, baik dan lancar. Maraknya informasi yang beredar di media sosial menuntut penggunanya untuk lebih bijak dalam merespon informasi yang ada.
Mengingat banyak informasi yang beredar hanya berita bohong. Setiap postingan, komentar, like, subscrib (sebagai bukti interaksi di ruang publik baru), tentu memiliki sejumlah konsekuensi. Untuk itu perlu adanya kesadaran diri dalam berinteraksi di dunia maya tersebut.
Momentum Ramadhan ini sangat tepat rasanya bagi kita untuk lebih bijak dan arif dalam berinteraksi di ruang virtual ini. Spirit ibadah puasa harus teraplikasikan dalam dunia virtual. Dimana kita berpuasa untuk menghindari mengkonsumsi dan juga mungkin memproduksi berita bohong. Tidak terpancing dengan isu-isu negatif dan provokatif. Memilah konten-konten yang lebih positif dan bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Jadikan ruang virtual sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebagai wujud ketundukan sebagai hamba. Jauhi dari sifat-sifat kemunafikan yang biasa ditampilkan dalam ruang virtual berwujud media sosial. Mari kita shaum dari media sosial yang cenderung banyak menyebarkan kebohongan. Polusi kemunafikan kita bersihkan, sehingga ruang publik virtual bersih dari kebencian.
Terkait penyebaran berita bohong atau hoak di bulan puasa, Rasulullah SAW pernah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhori, "Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (malah) melakukannya, maka Allah tidak butuh dengan lapar dan haus yang ia tinggalkan (tahan)."
Ibnul ‘Arabi dalam Fath Al-Bari, memberikan penjelasan bahwa "Konsekuensi dari hadis tersebut, siapa saja yang melakukan dusta yang telah disebutkan, balasan puasanya tidak diberikan. Pahala puasa tidak ditimbang dalam timbangan karena telah bercampur dengan dusta dan yang disebutkan bersamanya." Tentu perkataan bohong yang dimaksud bukan hanya di dunia nyata, tapi juga dalam ruang sosial virtual.
Perlu disadari bahwa media sosial yang kita ikuti ini dipenuhi dengan “citra diri” individu (kemunafikan), sehingga akan sulit sekali kita menemukan jati diri individu dalam ruang virtual ini. Oleh sebab itu, sosial media sebagai ruang publik virtual, menuntut setiap individu untuk menampilkan dan menjadi diri sendiri.
Apabila terjebak pada orientasi citra diri, maka dikhawatirkan akan masuk pada kemunafikan lebih jauh lagi pada ranah pelanggaran hukum. Kasus terakhir yang heboh karena berorientasi pada citra diri adalah prank sembako berisi sampah yang dilakukan oleh Ferdian cs pada Jumat (1/5/2020).
Aksinya dilakukan di pinggir Jalan Ibrahim Adjie, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung dengan objek sasaran para transgender. Aksi yang dilakukan awalnya iseng guna menaikan subscriber di You Tube ini berujung petaka menjadi tersangka penyalahgunaan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran