Awalnya Penuh Syirik dan Kemaksiatan
Warga Madinah, termasuk juga kaum Anshar, biasanya merayakan hari Nairuz dan Mahrajan dengan berbagai permainan dan sukacita. Tidak jarang perayaan itu dibumbui dengan kegiatan yang mengandung syirik, meminum minuman keras atau khamr, melakukan pergaulan bebas, dan bentuk-bentuk maksiat lainnya.
Lalu Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam menilai bahwa kedua hari raya tersebut tidak lagi sesuai dengan ajaran dan peradaban Islam yang sedang dibangun.
Sementara di sisi lain, keberadaan hari raya juga penting bagi sebuah kebudayaan. Maka atas petunjuk Allah Subhanahu wa ta'ala, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam tidak menghilangkannya sama sekali, namun menggantinya dengan tradisi dan kebiasaan baru.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Allah telah memberi ganti bagi kalian dua hari yang jauh lebih baik, yaitu Idul fitri dan Idul Adha," (HR Abu Daud dan al-Nasa’i).
Idul Fitri sebagai Perayaan Kemenangan
Hakikat hari raya Idul Fitri sejatinya ialah merayakan kemenangan iman atas peperangan melawan hawa nafsu pada bulan Ramadhan. Seorang muslim kembali menjadi sosok yang “fitri” atau suci seperti bayi yang baru dilahirkan.
Di samping itu, perayaan Idul Fitri juga bersamaan dengan momentum kemenangan tentara Rasulullah atas kaum kafir Quraisy dalam Perang Badar.
Perintah penggantian hari raya kuno dengan Idul Fitri, dilakukan setelah turunnya perintah kewajiban menunaikan ibadah puasa Ramadhan, yaitu pada tahun ke-2 Hijriyah, sebagaimana riwayat hadis Abu Dawud dan Nasa’i di atas.
Jadi, hari raya Idul Fitri mulai dirayakan oleh umat Islam untuk pertama kalinya setelah peristiwa Perang Badar pada 17 Ramadhan Tahun ke-2 Hijiriyah.
Dikisahkan dalam pertempuran itu umat Islam berhasil meraih kemenangan. Padahal tentara kaum muslimin hanya berjumlah 319 orang, menghadapi tentara kafir Quraisy sejumlah 1.000 orang.