TERCATAT lebih dari satu juta muslim Uighur ditempatkan di pusat penahanan di provinsi Xinjiang, yang terletak di paling Barat wilayah China. Para pemimpin dan pakar Uighur dari luar China telah memperingatkan betapa gentingnya situasi yang diperkirakan akan terus memburuk.
Dengan banyaknya orang Uighur yang ditahan, dapat disimpulkan bahwa inilah krisis kemanusiaan terburuk dan yang paling terabaikan selama 10 tahun terakhir. Lalu, mengapa hal ini terus terjadi, dan apa yang membuat pemerintah China seakan melihat muslim sebagai ancaman?
China saat ini adalah rumah bagi populasi muslim yang mencapai 1,6% dari keseluruhan populasi, atau sekitar 22 juta orang. Umat muslim bukanlah pendatang baru di China. Islam mulai masuk ke China oleh utusan dari Timur Tengah yang melakukan perjalanan untuk menemui Kaisar Geozong dari Dinasti Tang pada abad ketujuh.
Tak lama setelah kunjungan itu, masjid pertama dibangun di pelabuhan perdagangan selatan Guangzhou, yakni pelabuhan yang kerap digunakan oleh orang Arab dan Persia untuk melakukan perjalanan di sekitar Samudera Hindia dan Laut China Selatan. Selama masa ini, pedagang muslim membangun permukiman bagi mereka di pelabuhan China dan di pos-pos perdagangan sepanjang Jalur Sutra.
Namun, mereka hidup terpisah dari mayoritas Han China selama lima abad. Dilansir dari laman The Conversation, Jumat (3/7/2020), perubahan mulai terjadi pada abad ke-13 di bawah Dinasti Mongol Yuan, yakni ketika umat Islam datang ke China dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk melayani sebagai administrator bagi penguasa baru yang merupakan keturunan Ghengis Khan, pendiri kekaisaran Mongol.
Baca juga: Keutamaan Sholat Sunah Subuh Lebih Baik dari Dunia dan Isinya
Bangsa Mongol yang memiliki sedikit pengalaman dalam menjalankan birokrasi kekaisaran China ini kemudian meminta bantuan umat Islam dari kota-kota penting di Jalur Sutra seperti Bukhara dan Samarkand di Asia Tengah.
Mereka merekrut dan memindahkan raturan ribu orang Asia Tengah dan Persia secara paksa untuk membantu mereka dalam memerintah kerajaan yang diperluas hingga ke pengadilan Yuan. Di masa ini, para pejabat tinggi yang kaya terus membawa istri-istri mereka, sementara para pejabat tingkat rendah mengambil istri-istri dari wanita setempat.
Setelah Ghengis Khan menaklukkan sebagian besar Eurasia pada abad ke-12, ahli warisnya memerintah berbagai bagian benua yang mengarah ke fase damai nan makmur untuk pertama kalinya. Hal ini memungkinkan budaya untuk berkembang, serta barang maupun ide untuk tersebar semakin luas. Hal ini secara tak langsung menjadikan tradisi budaya China dan muslim berdampingan dengan cara-cara yang baru.
Selama 300 tahun kemudian, sepanjang Dinasti Ming memimpin, muslim masih terus berpengaruh dalam pemerintahan. Selama sekitar 300 tahun ke depan - selama Dinasti Ming - muslim terus berpengaruh dalam pemerintahan.
Zhang He, seorang laksamana yang memimpin armada China dalam perjalanan menjelajah dan diplomatik melalui Asia Tenggara dan Samudera Hindia adalah seorang muslim. Keakrabannya dengan bahasa Arab dan pengetahuannya tentang tradisi sosial yang berkaitan erat dengan Islam menjadikannya sebagai pilihan ideal untuk memimpin perjalanan.
Memasuki abad ke-18, hubungan antara muslim dan negara China mulai mengalami perubahan. Pada periode ini mulai diperlihatkan awal mula banyaknya bentrokan keras khususnya saat China berupaya untuk melakukan kontrol lebih atas wilayah di mana merupakan tempat mayoritas muslim tinggal.
Dinasti Qing yang berlangsung dari tahun 1644 hingga 1911 menandai periode awal pertumbuhan populasi dan pemberlakukan ekspansi wilayah yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh China. Di era kepemimpinan Dinasti Qing, tak sedikit populasi muslim yang melakukan pemberontakan terhadap penguasa dinasti di berbagai kesempatan.