Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Geger Klepon Tidak Islami, Benarkah Ada Makanan Syariah dalam ajaran Islam?

Geger Klepon Tidak Islami, Benarkah Ada Makanan Syariah dalam ajaran Islam?
Kue klepon (Selerarasa)
A
A
A

Bagaimana sejarah klepon?

Klepon ternyata sudah disebut-sebut dalam Serat Centhini, sebuah karya sastra terbesar tentang kebudayaan Jawa yang ditulis pada awal abad ke-19, kata Fadly Rahman, sejarawan kuliner di Universitas Padjadjaran, Bandung.

"Di situ disebutkan klepon dipakai sebagai salah satu bagian dari menu yang biasa dihidangkan di rumah tangga orang-orang Jawa, dan juga dipakai dalam acara tradisi selamatan, syukuran, selain sebagai kudapan yang dimakan dalam berbagai momen, mulai dari momen santai sampai tradisi-tradisi ritual," kata Fadly saat dihubungi (22/07).

Tradisi ritual yang dimaksud termasuk acara kenduri dan serentahun, atau acara syukuran atas hasil panen yang melimpah pada periode tertentu, kata Fadly.

Ia memperkirakan bahwa klepon telah dikonsumsi masyarakat Jawa kuno sejak abad ke-10 Masehi. Ini karena bahan dasar klepon sama seperti kudapan seperti cendol dan dawet yang disebut dalam "prasasti kuno di masa-masa abad ke-10 Masehi."

"Walaupun klepon muncul di naskah Serat Centhini yang ditulis pada masa abad ke-19, tapi kalau dilihat dari segi bahan -dari tepung beras yang digunakan, lalu suji atau daun pandan sebagai pewarna tepung beras, lalu gula merah atau gula aren yang digunakan sebagai pemanis yang ada di dalam klepon, dan parutan kelapa yang menunjukkan klepon- ini sama seperti dawet dan berbagai jenis kudapan yang menggunakan bahan yang sama," jelasnya.

"Ini mencirikan makanan khas Jawa, atau secara umum Asia Tenggara di Malaysia dan Singapura juga ada klepon, yang bisa jadi ini hasil dari diaspora kuliner Jawa ke negara tetangga."

 ilustrasi

Klepon diperkirakan menjadi kudapan yang populer di masyarakat Jawa kuno karena bahan-bahannya tumbuh di sekitar rumah, dan cemilan tradisional itu juga menjadi bukti kreativitas masyarakat Jawa saat itu, kata Fadly.

"Ini selain memanfaatkan secara optimal hasil pangan yang ada di Jawa kuno, juga menunjukkan bukti kreativitas seni kuliner yang tidak bisa dianggap enteng. Bagaimana mereka bisa memasukkan cairan manis gula aren di dalam balutan tepung beras yang kenyal dan juga dipermanis dengan parutan kelapa," jelasnya.

Menurut Fadly, unggahan viral yang menyebut klepon sebagai makanan yang tidak Islami justru menunjukkan bagaimana "di tengah himpitan pengaruh kuliner asing dari masa lalu hingga sekarang, produk seperti klepon ini masih bisa bertahan."

Konteks yang dipelintir

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) memasukkan unggahan soal 'klepon kafir' tersebut ke dalam dua dari tujuh kategori misinformasi dan disinformasi yang dimilikinya, yaitu parodi dan konteks yang dipelintir, kata Aribowo Sasmito.

Ia mengatakan bahwa ini bukan pertama kalinya ada klaim di internet mengenai halal atau tidaknya suatu makanan yang jamak dikonsumsi, seperti isu 'telur halal' yang sempat bergema beberapa tahun lalu.

"Kalau diobservasi, media sosial itu tempat berkumpul orang-orang yang suka komentar, bermanfaat atau tidak, yang penting mereka bisa komentar dengan berbagai macam pandangan. Ini akan makin rumit kalau dihubung-hubungkan dengan politik karena ada juga tokoh politik yang menggunakan isu ini untuk menyindir lawannya. Kalau sudah membicarakan politik, isunya semakin rumit," ujar Aribowo.

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement