Sama dengan mazhab Hanafi, kitab-kitab mazhab Syafi’i pun juga secara tegas menyebutkan keharaman mengonsumsi kepiting. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menuliskan:
وَعَدَّ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ مِنْ هَذَا الضَّرْبِ الضِّفْدَعَ وَالسَّرَطَانَ، وَهُمَا مُحَرَّمَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيْحِ الْمَنْصُوْصِ، وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُوْرُ
"Syekh Abu Hamid dan Imam al-Haramain memasukkan katak dan kepiting ke dalam kategori binatang yang dapat hidup di dua tempat. Dua binatang tersebut diharamkan menurut pendapat yang shahih dan tercatat dalam mazhab. Dan dengan hukum haram ini, mayoritas ulama mazhab memutuskan." (Lihat: Imam Nawawi, Al-Majmu’, juz 9, halaman 30)
Baca juga: Kisah Gus Dur soal Para Presiden Menangis Usai Tahu Kapan Negaranya Makmur
Imam Ad-Dumairi berkata:
يَحْرُمُ أَكْلُهُ لِاسْتِخْبَائِهِ كَالصَّدَفِ، قَالَ الرَّافِعِي : ولِمَا فِيْهِ مِنَ الضَّرَرِ
"Haram memakan kepiting karena ia selalu menyelinap (bersembunyi) seperti kerang. Imam Rafi’i berkata: Dan karena ia mengandung bahaya. (Lihat: Ad Dumairi, Hayatul Hayawan al-Kubra, juz 1, halaman 391)
Kemudian menurut mazhab Maliki dan mazhab Hanbali, kepiting halal dikonsumsi. Seorang ulama bermazhab Maliki bernama Ibnu Abdil Bar menyebutkan:
وَصَيْدُ البَحْرِ كُلُّهُ حَلَالٌ إِلَّا أَنَّ مَالِكاً يَكْرَهُ خِنْزِيْرَ الْمَاءِ لِاسْمِهِ وَكَذَلِكَ كَلْبُ الْمَاءِ عِنْدَهُ وَلَا بَأْسَ بِأَكْلِ السَّرَطَانِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَالضِّفْدَعِ
"Dan binatang buruan laut semuanya halal, hanya saja imam Malik memakruhkan babi laut karena namanya, begitu pula anjing laut, menurutnya. Dan tidak haram memakan kepiting, penyu, dan katak." (Lihat: Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi, juz 1, halaman 187)
Baca juga: 10 Ilmuwan Muslim Berpengaruh di Kehidupan Modern, Banyak Merevisi Penemuan Bangsa Barat