Senada dengan ulama mazhab Maliki, para ulama mazhab Hanbali juga menghalalkan kepiting. Ibnu Muflih menuturkan:
وَعَنْهُ – أَيْ عَنْ أَحْمَدَ - فِي السَّرَطَانِ وَسَائِرِ الْبَحْرِيْ : أَنَّهُ يَحِلُّ بِلَا ذَكَاةٍ؛ لِأَنَّ السَّرَطَانَ لَا دَمَ فِيْهِ
"Dan dari Imam Ahmad tentang hukum kepiting dan berbagai binatang laut: Ia halal sekalipun tidak disembelih, sebab kepiting tidak memiliki darah (mengalir)." (Lihat: Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, juz 9, halaman 214)
Baca juga: Kisah Mualaf Junior Liem, Mantap Memperdalam Islam Usai Menikah dengan Putri Titian
Sedangkan dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah menjelaskan:
كُلُّ مَا يَعِيْشُ فِي الْبَرِّ مِنْ دَوَابِّ الْبَحْرِ لَا يَحِلُّ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ كَطَيْرِ الْمَاءِ وَالسُّلَحْفَاةِ وَكَلْبِ الْمَاءِ إِلَّا مَا لَا دَمَ فِيْهِ كَالسَّرَطَانِ فَإِنَّهُ يُبَاحُ بِغَيْرِ ذَكَاةٍ
"Setiap apa yang (dapat) hidup di daratan berupa binatang melata laut itu tidak halal, tanpa disembelih (terlebih dahulu), seperti burung laut, penyu, dan anjing laut. Kecuali binatang yang tidak memiliki darah, seperti kepiting, maka boleh dimakan tanpa disembelih." (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 9, halaman 337)
Baca juga: 3 Cara Memuaskan Suami Sesuai Syariat ketika Istri Sedang Haid
Selanjutnya pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang hukum memakan kepiting. Dalam fatwa tersebut diputuskan bahwa kepiting halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia.
Fatwa itu didasarkan pada hasil temuan mereka yang menyebutkan bahwa kepiting merupakan binatang air, baik di air laut maupun di air awar, dan bukan binatang yang hidup di dua alam; di laut dan di darat.
Wallahu a'lam bishawab.
(Hantoro)