Tentu saja Raja Firaun marah besar. Kekalahan para tukang sihir itu saja sudah menamparnya, apalagi sampai menyatakan beriman dengan Tuhannya Nabi Musa Alaihissallam. Raja Firaun mengancam akan membunuh mereka jika tetap beriman kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Allah Ta'ala berfirman:
"Berkata Firaun: Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya." (QS Thaha: 71)
Kekalahan itulah yang menyadarkan para tukang sihir bahwa yang mereka hadapi bukanlah ahli sihir, tapi utusan Allah Subhanahu wa ta'ala. Oleh karena itu, mereka segera menyatakan beriman kepada Allah Ta'ala.
Raja Firaun merupakan seorang tiran yang zalim. Ia menganggap dirinya tuhan. Dia sangat sombong padahal hanya manusia biasa.
Untuk menghindari tuduhan bahwa dia tidak dapat menerima kekalahan, Raja Firaun mencari alasan lain kenapa mengancam akan membunuh para tukang sihir itu. Bukan karena beriman dengan Tuhannya Nabi Musa Alaihissallam dan Nabi Harun Alaihissallam, tapi karena tidak minta izin terlebih dahulu kepadanya sebelum menyatakan beriman.
Sebagaimana dilansir laman Suara Muhammadiyah, tidak ada aturan seseorang harus minta izin dulu kepada Raja Firaun sebelum beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tapi begitulah biasanya, seorang raja yang zalim tidak memerlukan alasan yang benar untuk berbuat sewenang-wenang kepada rakyatnya.
Raja Firaun tetap mengganggap Musa sebagai ahli sihir, bukan utusan Tuhan. Bahkan menuduh Musa adalah guru dari para tukang sihir tersebut. Maka secara tidak langsung Raja Firaun menuduh para tukang sihir tersebut bersekongkol dengan Musa untuk mengalahkannya dan mengusir bangsa Mesir dari Mesir.
Ternyata, di luar dugaan Raja Firaun, para tukang sihir itu sama sekali tidak takut dengan ancamannya. Mereka tetap mempertahankan keimanan yang baru saja mereka terima, apa pun yang akan terjadi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Mereka berkata: 'Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja." (QS Thaha: 72)
Hal yang mereka saksikan dalam pertandingan di arena itu baru satu mukjizat yaitu tongkat Musa menjadi ular dan menelan tali temali dan tongkat-tongkat yang telah disihir menjadi ular-ular yang menjalar kian kemari, tetapi kenapa dalam ayat disebutkan dalam bentuk jamak yaitu mukjizat, bukan mukjizah.
Menurut Quraish Shihab dalam kitab 'Tafsir Al-Mishbah 8:334', diungkapkan dalam bentuk jamak karena dalam penilaian mereka, pada apa yang ditampilkan Nabi Musa Alaihissallam terdapat beberapa hal yang mengagumkan, misalnya beralihnya tongkat menjadi ular besar, lalu ular itu memakan tali-temali dan tongkat yang sudah disihir jadi ular, kemudian ular itu beralih kembali menjadi tongkat.
Dalam pandangan para tukang sihir tersebut, ini bukanlah satu bukti, tetapi sudah bukti-bukti. Mukjizat yang baru saja mereka saksikan secara nyata dalam pertandingan itu telah membuat mereka yakin bahwa Nabi Musa Alaihissallam adalah utusan Tuhan.
Keyakinan itu tidak bisa lagi dikalahkan oleh ancaman Firaun. Sekalipun diancam untuk dipotong tangan dan kaki secara bersilang, lalu disalib di pohon kurma, mereka tidak takut karena sudah beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allahu a'lam.
(Hantoro)