IBADAH haji merupakan rukun kelima dalam Islam, setelah syahadat, shalat, puasa dan zakat. Melaksanakan ibadah haji menjadi bagian dari kewajiban manusia terhadap Allah seperti yang termaktub Al Quran, Surah Ali Imran, Ayat 97:
Allah SWT Berfirman
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
Diriwayatkan dari Dari Ibnu Umar ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Islam itu didirikan atas lima dasar. Yaitu, bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa pada bulan Ramadan, menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu melakukannya."
Jumhur ulama sepakat, jika kata wajib dalam haji berlaku untuk mereka yang mampu, baik itu dana dan daya. Dana terkait finansial, sedangkan daya terkait dengan fisik karena haji merupakan ibadah yang membutuhkan kemampuan fisik.
Dana Haji dari Berutang
Lalu bagaimana jika berangkat haji dengan dana berhutang? Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa Nomor: 004/MUNAS X/ MUI/XI/2020, tentang Pembayaran Setoran Awal Haji Dengan Utang dan Pembiayaan, secara prinsip membolehkan dengan sederet catatan.
1. Pembayaran Setoran Awal Haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah), dengan syarat:
a. bukan utang ribawi; dan
b. orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.
2. Pembayaran Setoran Awal Haji dengan uang hasil pembiayaan dari lembaga keuangan, hukumnya boleh dengan syarat:
a. menggunakan akad syariah.
b. tidak dilakukan di Lembaga Keuangan Konvensional; dan
c. nasabah mampu untuk melunasi, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.
3. Pembayaran setoran awal haji dengan dana utang dan pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) dan 2 (dua) adalah haram.
Terkait ini, MUI memberikan rekomendasi kepada pemerintah:
1. Pemerintah bersama pemangku kepentingan di bidang pengelolaan dan penyelenggaraan ibadah haji perlu melakukan sinergi dalam penyusunan kebijakan bagi pendaftaran haji untuk masyarakat.
2. Pemerintah perlu mengantisipasi dan mengadiministrasikan pendaftaran haji agar kondisi antrian haji yang sangat panjang tidak menyebabkan madharat.
3. Umat Islam hendaknya melaksanakan ibadah haji setelah adanya istitha’ah dan tidak memaksakan diri untuk melaksanakan ibadah haji sebelum benar-benar istitha’ah.
Berangkat Haji dengan Arisan
Lalu bagaimana jika berangkat haji dengan menggunakan dana dari arisan? dalam Tanya Jawab Agama Majelis Tarjih yang dibuat kembali di Suara Muhammadiyah, arisan merupakan suatu akad utang piutang yang saling merelakan. Pihak yang mendapatkan undian arisan bisa dikatkaan berutang kepada anggota lainnya sehingga harus membayar iuran secara berkala sesuai ketentuan.
Di dalam arisan juga mengandung unsur saling membantu dan tolong-menolong sebagaimana firman Allah swt di bawah ini,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَان …
… Tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong kamu dalam berbuat dosa dan permusuhan [Q.S. al-Maidah (5): 2].
Arisan, karena masuk dalam muamalat yang tidak disinggung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung, maka hukumnya dikembalikan ke hukum asal muamalat, yaitu boleh. Berdasarkan kaidah ; الأصل في الأشياء الإباحة (Pada dasarnya hukum segala sesuatu itu mubah).
Meski, dalam pelaksanaan arisan ada unsur keuntungan bagi yang dapat berangkat lebih dahulu dan kerugian bagi yang kemudian kalau nanti terdapat kendala pembayaran. Tapi, jika memang sudah ada kesepakatan bersama seluruh anggota dan bertanggung jawab memenuhi tanggung jawab melunasi semua hutang-hutangnya terhadap anggota lain, dengan prasangka baik, mudah-mudahan diterima sebagai haji mabrur.
Namun, Fatwa tarjih memberikan saran pelaksanaan arisan yang baik agar dilakukan antara beberapa anggota saja, dan dibuat dengan peraturan dan syarat-syarat yang menjamin tidak terjadinya kemacetan dan kericuhan.
(Maruf El Rumi)