Dalam riwayat Imam Muslim terdapat tambahan:
فَفَعَلَتْ وَوَقَفَتِ الْمَوَاقِفَ حَتَّى إِذَا طَهَرَتْ طَافَتْ بِالْكَعْبَةِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ
"Aisyah pun melakukannya, beliau melaksanakan semua aktivitas orang haji. Hingga ketika beliau telah suci, bliau thawaf di Kakbah dan sai antara Shafa dan Marwah." (HR Muslim nomor 2996)
"Ini menunjukkan bahwa wanita yang mengalami haid ketika umrah dan belum melakukan thawaf, maka dia boleh melakukan kegiatan apa pun, selain thawaf, sai, dan masuk Masjidil Haram. Dia menunggu sampai suci dan mandi haid. Setelah itu, baru dia thawaf dan sai," jelas Ustadz Ammi.
Thawaf tidak boleh dilakukan dalam kondisi hadats, menurut pendapat jumhur ulama. Ibnu Qudamah menyebutkan:
الطهارة من الحدث والنجاسة والستارة شرائط لصحة الطواف في المشهور عن أحمد وهو قول مالك و الشافعي
"Suci dari hadats dan najis serta memakai pakaian adalah syarat sah thawaf menurut pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad. Dan ini pendapat Malik dan As-Syafii." (Al-Mughni, 3/397)
Jika ternyata haid tidak berhenti sampai batas akhir wanita tersebut berada di Makkah, apa yang harus dilakukan?
Para ulama memberikan rincian:
1. Jika memungkinkan baginya untuk kembali ke Makkah setelah suci, maka dia tetap ihram, lalu pulang. Dan setelah suci, dia kembali lagi ke Makkah untuk thawaf dan sai. Ini berlaku untuk mereka yang tinggal tidak jauh dari Makkah.
2. Jika tidak memungkinkan baginya untuk kembali ke Makkah, seperti jamaah umrah Indonesia, maka dia bisa thawaf dan sai sebelum meninggalkan Makkah, meskipun dalam kondisi haid.
Alasannya:
- Kaidah dalam Islam, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan agar kita bertakwa kepada-Nya semampunya. Allah Ta'ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Bertakwalah kepada Allah semampu kalian." (QS At-Taghabun: 16)