Sedangkan Syekh Khatib As-Syirbini dalam salah satu kitabnya, Mughni Al Muhtaj, menegaskan bahwa:
وَقَوْلُ ابْنِ الرِّفْعَةِ الْمَشْهُوْرُ أَنَّهَا تُجْزِئُ؛ لِأَنَّ مَا حَصَلَ بِهَا مِنْ نَقْصِ اللَّحْمِ يَنْجَبِرُ بِالْجَنِيْنِ، فَهُوَ كَالْخَصِيِّ مَرْدُوْدٌ بِأَنَّ الْجَنِيْنَ قَدْ لَا يَبْلُغُ حَدَّ الْأَكْلِ كَالْمُضْغَةِ، وَلِأَنَّ زِيَادَةَ اللَّحْمِ لَا تَجْبُرُ عَيْبًا بِدَلِيلِ الْعَرْجَاءِ السَّمِيْنَةِ
Artinya: "Dan pendapat Imam Ibnu Rif’ah, yang mashur bahwa hewan hamil mencukupi karena kurangnya daging ditambal dengan janin seperti halnya binatang yang terpotong testisnya, ditolak dengan alasan bahwa terkadang janin tidak mencapai batas layak konsumsi seperti gumpalan daging serta bertambahnya daging tidak dapat menambal kecacatan dengan dalil binatang pincang yang gemuk." (Mughni al-Muhtaj, VI/128)
Kesimpulannya, berkurban dengan hewan yang sedang hamil terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Kedua pendapat tersebut pun dapat diamalkan.
Allahu a’lam bisshawab.
(Hantoro)