INI hukum sunat perempuan menurut Islam yang praktiknya resmi dihapus pemerintah. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Adapun aturan tentang larangan sunat perempuan ini termaktub dalam Pasal 102 huruf a yang berbunyi: "Menghapus praktik sunat perempuan."
Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin menyambut baik terbitnya PP 28/2024. Menurut dia, PP ini menjadi penguat bagi pemerintah untuk membangun kembali sistem kesehatan yang tangguh di seluruh Indonesia.
"Kami menyambut baik terbitnya peraturan ini yang menjadi pijakan kita untuk bersama-sama mereformasi dan membangun sistem kesehatan sampai ke pelosok negeri," ujar Menkes Budi, dikutip dari keterangan resminya, Selasa 30 Juli 2024.
Lantas, bagaimana hukum sunat perempuan menurut Islam?
Dilansir laman Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Selatan (MUI Sulsel), persoalan khitan atau sunat bagi perempuan telah difatwakan oleh MUI Pusat yaitu pada Fatwa Nomor 9A Tahun 2008 terkait menolak larangan khitan bagi perempuan.
Bunyinya adalah, "Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Dan khitan terhadap perempuan adalah makrumah (kemuliaan). Pelaksanaannya sebagai ibadah yang dianjurkan."
Dalam tinjauan fikihnya memang terdapat perbedaan pendapat para ulama:
Pendapat 1
Khitan hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat ini dipegang oleh Mazhab Hanafi (Hasyiah Ibnu Abidin: 5479), Mazhab Maliki (Al-Syarh Al-Shaghir: 2151), dan Syafii dalam riwayat yang syaz (Lihat kitab Al-Majmu: 1300).
Menurut pandangan mereka khitan itu hukumnya hanya sunnah bukan wajib. Ia hanyalah fithrah dan syiar Islam. Khusus khitan bagi perempuan, mereka yaitu Mazhab Maliki, Hanafi, dan Hanbali memandang bahwa hukumnya sunnah.
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Ibnu Abbas marfu' kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam:
الخِتانُ سُنَّةٌ لِلرِّجالِ، مَكرُمَةٌ لِلنِّساءِ
"Khitan itu sunnah buat laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan." (HR Ahmad dan Baihaqi)
Selain itu, mereka juga berdalil bahwa khitan hukumnya sunnah bukan wajib karena disebutkan dalam hadits bahwa khitan bagian dari fitrah dan disejajarkan dengan istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak. Padahal semua itu hukumnya sunnah, karena itu khitan pun sunnah pula hukumnya.
Pendapat 2
Khitan itu hukumnya wajib bukan sunnah. Pendapat ini didukung Mazhab Syafii (Lihat kitab Al-Majmu 1284/285; Al-Muntaqa 7232), Mazhab Hanbali (Lihat Kasysyaf Al-Qanna180, dan Al-Inshaaf 1123).
Mereka mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalil yang mereka gunakan adalah ayat Alquran dan sunnah:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
"Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus." (QS An-Nahl: 123).
Dijelaskan juga dalam hadits:
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ -عَلَيْهِ السَّلاَمُ- وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً بِالقَدُّومِ
Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bersabda: "Nabi Ibrahim Alaihissallam berkhitan saat berusia 80 dengan kapak." (HR Bukhari dan muslim)
Kita diperintah untuk mengikuti millah Nabi Ibrahim Alaihissallam karena merupakan bagian dari syariat kita juga. Kemudian juga diterangkan dalam hadits yang berbunyi:
ألْقِ عنك شعرَ الكفرَ واختتِنْ
"Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah." (HR Ibn Al Qaffaal)
Pendapat 3
Wajib bagi laki-laki dan kemulian bagi perempuan. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, yaitu khitan itu wajib bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan tapi tidak wajib.( Al-Mughni 185)
Di antara dalil tentang khitan bagi perempuan adalah sebuah hadits meski tidak sampai derajat shahih bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam pernah menyuruh Ummu 'Athiyyah, seorang perempuan yang berprofesi sebagai pengkhitan anak perempuan. Rasulullah bersabda:
لا تُنهِكي فإنَّ ذلك أحظى للمرأةِ وأحبُ إلى البَعل
"Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami."
Jadi untuk perempuan dianjurkan hanya memotong sedikit saja dan tidak sampai kepada pangkalnya. Namun tidak seperti laki-laki yang memang memiliki alasan yang jelas untuk berkhitan dari sisi kesucian dan kebersihan, khitan bagi perempuan lebih kepada sifat pemuliaan semata.
Hadits yang ada pun tidak secara tegas memerintahkan untuk melakukannya, hanya menunjukkan adanya khitan perempuan dan menjelaskan tata caranya.
Pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam, wanita-wanita dikhitan dengan dalil bahwa Rasullah bersabda:
إذا مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
"Jika bekas khitan laki-laki menyentuh bekas khitan perempuan, maka telah wajib mandi." (HR Muslim dari Aisyah Radhiyallahu anha)
Namun perlu diperhatikan bahwa sunat atau khitan perempuan itu dilakukan saat mereka masih kecil dan caranya juga harus diperhatikan yaitu cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris.
Sunat perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar.
Sedangkan bila sudah dewasa, khitan tentu saja harus memperhatikan aspek kesehatannya, sebab tidak ditemukan dalil yang menunjukkan adanya khitan pada saat wanita dewasa, berbeda dengan laki-laki yang terkait masalah kesucian dari sisa air kencing yang merupakan najis. Sehingga setelah dewasa, khitan tetap harus dilakukan.
Wallahu a'lam bisshawab.
(Hantoro)