JAKARTA - Gelar “Haji” di Indonesia memiliki makna yang lebih dari sekadar sebutan untuk mereka yang telah menunaikan ibadah haji di Mekkah. Seiring dengan perjalanan sejarah, penamaan gelar ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk peran pemerintah kolonial Belanda dalam mengatur perjalanan haji.
Sejarah asal usul gelar Haji di Indonesia tak lepas dari kebijakan dan pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial yang berdampak pada struktur sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia.
Pada abad ke-19, Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda yang mengontrol berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah haji. Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan kebijakan pembatasan terhadap umat Islam yang ingin berangkat ke Makkah.
Mereka yang ingin menunaikan ibadah haji harus melalui proses yang rumit dan memerlukan izin dari pemerintah kolonial. Hal ini menyebabkan perjalanan haji tidak mudah dijangkau oleh banyak orang, hanya kalangan tertentu yang mampu berangkat ke tanah suci.
Pemerintah Belanda khawatir jika perjalanan haji semakin mudah diakses oleh umat Islam Indonesia, bisa memperkuat gerakan-gerakan anti-kolonialisme, karena di Mekkah para jamaah haji dapat bertemu dengan para pemimpin agama dari berbagai negara.
Untuk itu, Belanda mengendalikan jumlah orang yang dapat berangkat haji dengan berbagai cara, mulai dari pajak hingga pembatasan langsung.
Berkat pembatasan tersebut, mereka yang berhasil menunaikan ibadah haji mendapatkan gelar “Haji” atau “Hajah” yang menjadi simbol status sosial dan kehormatan. Bagi masyarakat Indonesia pada masa itu, orang yang berhasil menunaikan ibadah haji dipandang sebagai orang yang telah mencapai prestasi besar, baik dalam hal keagamaan maupun sosial.