DALAM pelaksanaan ibadah haji, tak hanya fisik yang diuji, tapi juga empati dan ketulusan hati. Kisah haru datang dari petugas haji layanan lanjut usia (lansia) dan disabilitas Yundarini yang rela melepas status dan jabatan demi melayani jamaah sepenuh hati.
Yundarini beserta petugas haji layanan lansia dan disabilitas lain menganggap jamaah lansia seperti kakek dan nenek mereka sendiri. Mereka memberikan perhatian penuh dengan memandikan, menyuapi, hingga menemani bercerita.
Setiap harinya Yundarini bisa mengawal lebih dari lima jamaah lansia dan disabilitas. Tugas yang tentu tidak mudah, namun semuanya terasa ringan karena dijalani secara ikhlas.
Pada Kamis, 5 Juni 2025, Yundarini menjalani salah satu momen paling menarik saat bertugas dilayanan lansia dan disabilitas. Ia ditugaskan menangani jamaah lansia dan disabilitas di dalam bus yang bersiap menjalani program safari wukuf.
Sebanyak 477 jamaah haji lansia, risiko tinggi (risti), dan disabilitas mengikuti Program Safari Wukuf Khusus Lansia yang digelar Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi pada puncak haji 1446 H/2025 M. Safari wukuf adalah momen di mana jamaah lansia dan disabilitas dengan sejumlah kriteria tetap melaksanakan wukuf di Arafah, tapi tidak di tenda melainkan dari dalam bus.
Sebelum membawa jamaah ke dalam bus, petugas lebih dulu membawa mereka dari hotel semula ke hotel transit. Tak mudah untuk membawa jamaah haji lansia ke hotel transit. Sebab, mereka akan berpisah dengan pendamping atau sejenisnya. Namun, berkat kecekatan petugas dalam berkomunikasi, semuanya berjalan lancar.
“Ceritanya kita sangat-sangat terharu menemukan keluarga baru yang kita anggap sebagai kakek atau nenek sendiri. Ketika kita datang, kita menjelaskan kenapa mereka dipisahkan dengan anggota keluarga lain di hotel semula. Karena dijelaskan, mereka menjadi paham sehingga tidak gelisah,” kata Yundarini kepada tim Media Center Haji 2025, Selasa (10/6/2025).
“Kita bilang, ibu dan bapak adalah orang-orang yang terpilih dan kita anggap sebagai kakek dan nenek sendiri. Bapak dan ibu akan kami jadikan raja dan ratu selama sehari,” lanjutnya.
“Kita pun menjadi terharu ketika memandikan, mengganti pampers, membopong hingga menyuapi para jamaah program safari wukuf. Aktivitas itu mungkin terlihat biasa, tapi saat kita mengerjakan itu semua, ada rasa haru,” tegas Yundarini.
Ada satu hal yang membuat hati Yundarini terenyuh. Ada beberapa jamaah yang meminta nama dirinya untuk kemudian didoakan setiap hari.
“Mereka pun mendoakan kita dengan hal-hal yang baik. Semua yang mereka minta kita mencoba fasilitasi dan itu kebahagiaan yang tak terkira. Sampai akhirnya, mereka meminta nama saya untuk didoakan setiap hari,” kata Yundarini penuh haru.
Kisah Yundarini bukan hanya tentang kerja keras, tetapi juga tentang cinta yang tulus tanpa syarat. Di tengah lautan manusia yang menunaikan rukun Islam kelima, hadir sosok-sosok seperti Yundarini yang diam-diam menyalakan cahaya kasih dan pengabdian.
Mereka tidak hanya mengantar jamaah menunaikan wukuf, tetapi juga menghadirkan rasa aman, nyaman, dan dimanusiakan sepenuhnya. Dari tangan mereka yang menyuapi hingga peluh yang jatuh saat membopong, semua menjadi bentuk ibadah yang tak kalah mulia.
Doa tulus dari para jamaah lansia dan disabilitas menjadi balasan paling indah atas ketulusan itu. Saat nama seorang petugas disebut dalam setiap sujud dan lirih doa para kakek dan nenek yang mereka layani, di situlah kebahagiaan sejati hadir. Kisah ini mengingatkan kita bahwa ibadah tak hanya dilakukan di atas sajadah, tapi juga dalam pelayanan yang penuh cinta dan empati.
(Ramdani Bur)