Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Bagaimana Hukum Rebo Wekasan dalam Islam? Ini Penjelasan MUI

Erha Aprili Ramadhoni , Jurnalis-Selasa, 19 Agustus 2025 |16:52 WIB
Bagaimana Hukum Rebo Wekasan dalam Islam? Ini Penjelasan MUI
Bagaimana Hukum Rebo Wekasan dalam Islam? Ini Penjelasan MUI (Ilustrasi/Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Rabu terakhir bulan Safar jatuh pada besok hari, 20 Agustus 2025. Bagi sebagian masyarakat, ada tradisi Rebo Wekasan. 

1. Rebo Wekasan

Hari ini dipercaya sebagai hari turunnya bala atau musibah. Terkait hal ini, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kiai Miftahul Huda, menjelaskan penentuan hukum terhadap suatu tradisi harus diawali pemahaman yang utuh mengenai tradisi tersebut.

“Rebo Wekasan sebagai suatu nama atau istilah, tidak bisa dihukumi sampai diketahui deskripsi yang utuh mengenai nama atau istilah tersebut," katanya melansir laman MUI, Selasa (19/8/2025). 

Ia menjelaskan, ini sebagaimana kaidah dalam keilmuan Islam:

  الحكم على الشيء فرع عن تصوره

Artinya: “Menentukan status hukum (justifikasi) terhadap sesuatu harus dibangun atas dasar gambaran yang tepat tentang sesuatu itu.”

KH Miftah menyebut, tradisi Rebo Wekasan memiliki berbagai aspek yang harus ditelaah sebelum ditentukan hukumnya. Aspek tersebut adalah aspek akidah (keyakinan), ibadah, dan muamalah (hubungan sosial serta kebiasaan).

Menurutnya, sebagian orang meyakini pada Rabu terakhir bulan Safar, Allah SWT menurunkan berbagai jenis bala atau penyakit. Keyakinan ini, kata dia, tidak memiliki dasar dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.

“Mayoritas ulama menyatakan tidak ada dalil yang sahih untuk mendasari keyakinan ini. Justru, meyakini turunnya takdir buruk pada hari tertentu dapat menjerumuskan seseorang ke dalam tathayyur atau thiyarah kepercayaan terhadap pertanda sial, yang dilarang Nabi Muhammad SAW,” tuturnya.

 

Kiai Miftah mengutip hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Muslim:

لا عَدْوَى و لا طيرةَ و لا هامةَ و لا صَفرَ ، و فِرَّ مِنَ المجذومِ كما تَفِرُّ مِنَ الأسد

Artinya: "Tidak ada penularan (tanpa izin Allah), tidak ada kesialan karena burung, tidak ada hantu, tidak ada bulan Safar (yang dianggap sial), dan larilah dari orang yang terkena lepra seperti kamu lari dari singa." (Shahih Muslim, no 2220).

KH Miftah menambahkan, sikap menghindari aktivitas penting seperti menikah, bepergian, atau memulai usaha pada hari tersebut karena takut sial termasuk bentuk tathayyur yang dilarang dan bisa merusak keyakinan. Adapun memilih waktu tertentu karena lebih afdhal (lebih baik), maka itu tidak merupakan tathayyur.
 

(Erha Aprili Ramadhoni)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement