Di antara ulama yang membolehkan seorang istri keluar rumah ketika di rumahnya ada masalah adalah Sayyid Abdurrahman Al-Hadrami. Dalam Bughyatul Mustarsyidin (Beirut, Darul Fikr: 1994), halaman 352, ia menjelaskan:
مُزَوَّجَةٌ إِذَا دَخَلَتْ عَلَى زَوْجِهَا ٱعْتَرَاهَا ضِيقٌ وَكَرْبٌ وَصِيَاحٌ، وَإِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهِ سَكَنَ رَوْعُهَا، لَمْ يَلْزَمْهَا ٱلتَّسْلِيمُ لِلضَّرَرِ، لَكِنْ تَسْقُطُ مُؤْنَتُهَا
Artinya: “Seorang istri, apabila bersama suaminya merasa sesak, tertekan, dan mudah berteriak, tetapi ketika ia keluar dari rumah suaminya, perasaan takut dan gelisahnya menjadi tenang, maka ia tidak diwajibkan untuk menyerahkan diri pada keadaan yang membahayakan dirinya. Namun, dalam kondisi seperti ini haknya atas nafkah dari suami menjadi gugur.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan seorang istri boleh keluar rumah saat bertengkar dengan suaminya hingga keadaan kembali tenang. Ketika terjadi demikian, konsekuensinya adalah nafkah suami kepada istrinya menjadi gugur.
Selanjutnya, ketika suasana sudah kondusif dan kembali tenang, sebaiknya suami dan istri segera memohon serta memberi maaf agar kembali harmonis. Wallahualam
(Erha Aprili Ramadhoni)