Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kisah Masa Kecil Nabi Muhammad SAW: Yatim Piatu yang Berkah

Erha Aprili Ramadhoni , Jurnalis-Rabu, 08 Oktober 2025 |17:47 WIB
Kisah Masa Kecil Nabi Muhammad SAW: Yatim Piatu yang Berkah
Kisah Masa Kecil Nabi Muhammad SAW: Yatim Piatu yang Berkah (Ilustrasi/Okezone(
A
A
A

JAKARTA - Kisah Nabi Muhammad SAW semasa kecil menarik untuk diketahui umat Islam. Diketahui, Nabi Muhammad SAW lahir dalam kondisi yatim.

Sang ayah, Abdullah bin Abdul Muthalib, meninggal di Yatsrib ketika dalam perjalanan pulang dari berdagang ke Syam. Saat itu, Aminah sedang mengandung Nabi Muhammad SAW.

Ketika Nabi Muhammad SAW lahir, Mekkah pada abad ke-6 bukanlah kota yang nyaman bagi bayi. Lingkungan perkotaan padat dan bising, udara berdebu, penyakit mudah menular, dan tingkat kematian bayi sangat tinggi.

Pada saat itu, banyak keluarga mengirim anaknya ke orang-orang Badui yang hidup di pedalaman gurun pasir. Tujuannya agar anak mereka tumbuh kuat secara fisik dan fasih serta tulen secara bahasa, melansir laman Muhammadiyah, Rabu (8/10/2025).

Bagi keluarga Quraisy, menitipkan anak kepada orang Badui berarti memberi mereka kesempatan tumbuh di lingkungan yang lebih sehat, belajar bahasa Arab yang murni, sekaligus ditempa ketangguhan hidup gurun. Karena itu, mengirim bayi ke pedalaman bukanlah bentuk penelantaran, melainkan dianggap pilihan terbaik dan bergengsi.

Setiap musim, keluarga Badui biasanya datang ke kota Mekkah untuk menawarkan jasa menyusui dan pengasuhan. Sebagai imbalan, mereka akan menerima bayaran dan kehormatan sosial dari keluarga yang menitipkan anaknya.

Karena Muhammad lahir tanpa ayah, banyak calon pengasuh enggan menerimanya. Mereka khawatir tidak ada imbalan yang cukup. Sementara merawat bayi berarti menanggung beban besar. Ada risiko sakit, kebutuhan tambahan, bahkan tanggung jawab moral jika sesuatu terjadi pada anak itu. Karena itu, banyak calon pengasuh memilih anak lain yang lebih “menjanjikan” secara materi.

Hingga akhirnya Halimah al-Sa‘diyyah dari Bani Sa‘ad bin Bakar yang membawa bayi Muhammad pulang. Dalam asuhannya, Muhammad kecil justru tumbuh sehat dan pintar. Sejak kedatangannya, Halimah menyaksikan tanda-tanda yang tak biasa. Unta betina tua tiba-tiba menghasilkan susu melimpah, ternak keledai menjadi sehat, dan keluarga Badui itu merasakan kelapangan rezeki.

 

Dua tahun pertama bersama bayi Muhammad begitu istimewa hingga Halimah memohon kepada Aminah agar masa persusuannya diperpanjang. Bagi keluarga yang hidup di tepi kelaparan, pengalaman ini terasa sebagai pertanda akan hadirnya sosok pembawa berkah. Bayi yang tadinya nyaris tak dipilih siapa pun justru berubah menjadi sumber keberuntungan bagi siapa saja yang merawatnya.

Beberapa tahun kemudian, Muhammad kembali diasuh oleh ibunya, Aminah. Namun kebersamaan itu berlangsung sangat singkat. Saat ia berusia enam tahun, Aminah wafat di Abwa’, dalam perjalanan pulang dari ziarah ke makam Abdullah di Yatsrib. Muhammad pun menjadi yatim piatu sepenuhnya.

Meski singkat, kenangan terhadap ibunya tak pernah pudar. Puluhan tahun kemudian, Muhammad dewasa kembali ke makam Aminah. Nabi SAW menangis lama hingga janggutnya basah, dan para sahabat yang menyertainya ikut larut dalam tangis. Saat itu beliau bersabda, “Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, tetapi sekarang berziarahlah kalian.”

Kisah ini relevan bagi kita yang telah ditinggal orang tuanya. Namun perlu dicatat, ziarah kubur tidaklah dimaksudkan untuk meminta-minta pertolongan dari orang yang telah wafat atau mencari berkah dari tanah kuburannya. Ziarah yang benar adalah sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, yaitu mendoakan mereka yang telah mendahului kita dan menjadikan kubur sebagai pengingat bahwa kehidupan dunia akan berakhir pada kematian.

 

Kehilangan ibu bagi Muhammad kecil meninggalkan luka mendalam. Namun kisah kehidupannya tidak berhenti di titik kesedihan. Justru dari sanalah terbuka babak baru tentang bagaimana kasih sayang keluarga besar Quraisy menopang seorang anak yang tampak rapuh namun disiapkan untuk misi agung ini.

Sepeninggal ibunya, pengasuhan Muhammad kecil dilanjutkan oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Kakek yang sudah renta itu memberikan perhatian penuh pada cucunya. Ia membolehkan Muhammad kecil duduk di tempat khusus di sisi singgasananya di Ka‘bah. Hal ini menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus kasih sayang dalam diri Muhammad.

Setelah Abdul Muthalib wafat, pengasuhan beralih kepada Abu Thalib. Ia merawat Muhammad dengan penuh tanggung jawab meski hidupnya sederhana dan keluarganya banyak. Ia selalu membawa Muhammad bersamanya, memperlakukan keponakan itu sama seperti anak kandung sendiri. Dari Abu Thalib, Muhammad kecil belajar nilai keberanian, loyalitas, dan kesetiaan pada keluarga serta kaumnya.

Jaringan keluarga inilah yang kelak menjadi benteng penyelamat dari keterasingan. Dukungan Abdul Muthalib dan Abu Thalib memastikan Nabi SAW tetap tumbuh dalam lingkaran kaumnya meski tanpa ayah dan ibu. Dari lingkaran kasih sayang inilah Muhammad kecil belajar bahwa kehilangan tidak selalu berarti kehancuran.

Wallahualam

(Erha Aprili Ramadhoni)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement