JAKARTA - Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dengan sesamanya untuk berbagai keperluan, baik bisnis hingga sekadar melepas rindu. Tak jarang interaksi tersebut terjadi antara lawan jenis yang bukan mahram, dan di ruang publik.
Lantas, bagaimana syariat memandang interaksi seseorang dengan lawan jenis di ruang publik? Berikut penjelasannya, sebagaimana dilansir dari laman NU Online.
Secara umum, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kehormatan manusia sebagai makhluk Allah paling mulia. Hal ini terbukti dengan salah satu prinsip utama dalam syariat (maqashidus syariah), yaitu untuk melindungi kehormatan atau hifdzul ‘ird. Dari prinsip ini, lahirlah hukum-hukum parsial yang mengatur supaya martabat dan kehormatan manusia tetap terjaga, baik laki-laki maupun perempuan.
Karenanya, Islam mengatur sedemikian rupa hubungan seseorang dengan lawan jenisnya sebagai bentuk proteksi agar mereka tidak terjerumus kepada perbuatan yang menggugurkan kehormatan tersebut.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: "Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk." (QS Al-Isra’: 32).
Ayat di atas menegaskan bahwa yang dilarang bukan hanya berzina, tetapi segala hal yang berpotensi menjerumuskan kepada tindakan tersebut juga dilarang. Misalnya berduaan dengan lawan jenis, melihat aurat, dan tindakan-tindakan lain yang dapat mengundang gairah.
Pada masa Rasulullah dan para sahabat, perempuan memiliki peran penting dalam berbagai aspek. Mulai dari urusan domestik rumah tangga, sosial kemasyarakatan, sampai kepada urusan perang melawan musuh-musuh Islam. Bahkan dalam Kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, ada satu bab yang berisi berbagai kisah heroik para sahabat perempuan ketika bertempur bersama Nabi SAW.
Dalam berbagai riwayat, dikisahkan bagaimana perjuangan Siti ‘Aisyah bersama Ummu Sulaim, Ummu Athiyah, dan sahabat-sahabat perempuan lainnya dalam medan pertempuran. Meskipun secara fisik kemampuan mereka tidak sekuat laki-laki, tetapi peran mereka tidak bisa dianggap sebelah mata. Para sahabat wanita inilah yang dengan cekatan membawakan air, mengobati tentara yang sakit, dan menyediakan berbagai kebutuhan mendesak lainnya.
Dalam sebuah riwayat, sahabat Anas bin Malik berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو بِأُمِّ سُلَيْمٍ وَنِسْوَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ مَعَهُ إِذَا غَزَا، فَيَسْقِينَ الْمَاءَ، وَيُدَاوِينَ الْجَرْحَى
Artinya: "Rasulullah SAW pernah berperang bersama Ummu Sulaim dan perempuan lain dari kalangan Anshar. Mereka memberikan air minum dan mengobati orang-orang yang terluka." (HR. Muslim).
Selain itu, terdapat banyak kisah yang menggambarkan potret keterlibatan perempuan dalam urusan sosial kemasyarakatan di zaman Rasulullah dan para sahabat. Misalnya Rithah binti Abdullah, perempuan tangguh yang konon memiliki sebuah industri sebagai sumber pendapatan utama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah, beliau mengafirmasi dan memuji tindakan Rithah RA.
Kita juga tidak akan lupa mengenai kisah Sahabat Umar bin Khattab RA yang pernah ditegur secara langsung oleh seorang wanita ketika beliau memberikan maklumat di sebuah majelis tentang batasan mahar. Sahabat Umar menerima dengan senang hati masukan dari wanita tersebut. Namun, yang menjadi poin penting di sini adalah bagaimana keterlibatan langsung para wanita ketika itu dalam dinamika kehidupan sosial.
Dalam berbagai literatur klasik, mayoritas ulama sangat membatasi ruang gerak wanita untuk beraktivitas di tempat-tempat umum yang meniscayakan interaksi dan komunikasi dengan lawan jenis. Selain didasarkan kepada ayat Al-Qur’an yang menyuruh para wanita tetap di rumah, hal tersebut juga dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian demi menjaga kehormatan seorang wanita agar tidak dinodai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Namun, larangan keluar rumah terhadap perempuan sejatinya didasarkan pada satu alasan, yaitu mencegah terjadinya mafsadah atau fitnah. Ketentuan ini adalah bentuk tindakan preventif dari syara’ agar para wanita tetap terjaga kehormatannya. Karena akar dari pelecehan dan tindakan asusila lainnya yang terjadi kebanyakan berawal dari keteledoran para wanita dalam menjaga batas-batas syariat dan adab yang berlaku.
Namun, jika probabilitas terjadinya fitnah tersebut kecil atau bahkan tidak ada, maka aktivitas wanita di ruang publik tidak menjadi soal. Apalagi jika hal tersebut dilakukan karena suatu keperluan, seperti berobat, belajar-mengajar, atau aktivitas penting lainnya. Hal ini sejalan dengan kaidah dalam ushul fiqih yang mengatakan:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
Artinya: "Eksistensi suatu hukum bergantung kepada ada atau tidak adanya illatnya."
Dalam Munas Alim Ulama yang diselenggarakan di NTB pada 1997, Nahdlatul Ulama merumuskan suatu kesimpulan bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dan memiliki hak yang sama dalam hal penghambaan kepada Allah SWT. Hal ini didasarkan pada berbagai ayat Al-Qur’an yang menjelaskan mengenai perolehan ganjaran bagi mereka yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan.
Dalam An-Nahl misalnya, Allah SWT berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: "Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan." (QS An-Nahl: 97).
Selain itu, forum Munas tersebut juga mengafirmasi kesetaraan hak yang dimiliki laki-laki dan perempuan di ruang publik. Sebagai bagian dari masyarakat, peran perempuan dalam ikut serta membangun serta menyejahterakan kehidupan sosial tidak dapat dipandang sebelah mata. Meski secara kodrat mereka memiliki tugas khusus seperti mengandung, melahirkan, dan merawat anak sebagai penerus generasi masa depan, tidak dapat dipungkiri bahwa di luar sana banyak peran-peran nonkodrati yang harus dipikul bersama dan dilaksanakan dengan saling mendukung satu sama lain antara laki-laki dan perempuan.
Terkait hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
Artinya: "Sesungguhnya perempuan itu bagaikan saudara kandung laki-laki." (HR. At-Tirmidzi).
Dalam riwayat lain, Nabi SAW bersabda:
النَّاسُ سَوَاءٌ كَأَسْنَانِ الْمُشْطِ
Artinya: "Manusia itu posisinya sama dan setara bagaikan gigi-gigi sisir." (HR. Al-Asbihani).
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki peran yang tidak kalah penting dengan laki-laki dalam berbagai aspek, dengan tetap mempertimbangkan kapabilitas dan integritas. Karena adanya potensi yang sama tersebut, perempuan bahkan dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan kemaslahatan dan kehidupan yang sejahtera, baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan untuk skala nasional. Memarginalkan perempuan dan mengkerdilkan perannya hanya untuk urusan domestik adalah efek dari kultur budaya yang telah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat.
Karena itu, perempuan diperbolehkan melakukan aktivitas dan mengambil peran di ruang publik dengan tetap memperhatikan adab-adab yang telah ditetapkan oleh syariat seperti menutup aurat, tidak berkhalwat, dan lain sebagainya. Pihak lain seperti pemangku kebijakan juga perlu berupaya untuk menciptakan dan menjaga suasana agar aman, terlindungi dan nyaman agar partisipasi perempuan dalam ranah publik tetap kondusif serta terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Wallahu a’lam.
(Rahman Asmardika)