Rupanya hati Abu Thalhah bergetar tatkala mendengar kisah tentang Ummu Sulaim dan anaknya, Anas ibn Malik. Ia yang masih seorang kafir itu pun hendak melamar dan menikahi Ummu Sulaim.
Ia pun menawarkan mahar yang sangat mahal demi bisa menikahi Ummu Sulaim, tetapi kejutan yang begitu besar membuat lidahnya tidak bisa berbicara saat sang mukminah nan saleh itu menolak lamaran Abu Thalhah.
Ummu Sulaim berkata, “Aku tidak mungkin menikah dengan seorang laki-laki musyrik. Wahai Abu Thalhah, tidakkah engkau tahu bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang diukir oleh budak keluarga si fulan dan andaipun kalian nyalakan api di dalamnya, pastilah mereka terbakar.”
Dari Ummu Sulaim binti Malhan dalam riwayat Ibnu Sa’d, disebutkan bahwa Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, tidakkah engkau tahu bahwa Tuhanmu yang engkau sembah itu tiada lain hanyalah batang pohon yang tumbuh dari dalam tanah, yang diukir oleh budak si fulan?”
Abu Thalhah menjawab, “Benar.”
Maka Ummu Sulaim menyahut, “Tidakkah engkau merasa malu untuk menyembah kayu yang tumbuh dari dalam tanah yang dipahat oleh seorang budak ibn fulan? Apakah engkau mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah lalu aku rela menikah denganmu? Aku tak menginginkan mahar darimu selain hal itu.”
Abu Thalhah menjawab, “Beri aku kesempatan untuk berpikir.”
Abu Thalhah pun pergi dan berpikir beberapa waktu. Setelah itu, ia kembali datang dan mengucapkan, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Ummu Sulaim berkata, “Wahai Anas, bangkitlah dan nikahkanlah Abu Thalhah.”
Ummu Sulaim, sang juru dakwah yang beriman dan setia. Ketika kedudukan, harta, dan pemuda berada di depan matanya, Ummu Sulaim menolak dengan bangga dan penuh hormat.
Ia sadar bahwa Islam yang ada dalam hatinya itu lebih jaya dibandingkan dengan segala nikmat dunia yang fana. Ia pun mampu mengambil mahar dari Abu Thalhah dengan penuh sopan dan hormat saat ia berkata kepada Abu Thalhah: “Wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidaklah layak ditolak. Akan tetapi, engkau adalah laki-laki kafir, sedangkan aku adalah wanita mukminah. Tidaklah patut jika aku menikah denganmu.”
Maka Abu Thalhah menyahut, “Apakah yang engkau inginkan?”
Dengan penuh kesopanan dan keyakinan, Ummu Sulaim menjawab, “Apa yang aku inginkan?”
Abu Thalhah berusaha merayu dengan kenikmatan dunia: “Emas maupun perakkah?
Ummu Sulaim menjawab, “Sungguh aku tidak menginginkan emas maupun perak. Namun, aku ingin engkau memeluk Islam.”
Abu Thalhah bergegas menemui Rasulullah yang saat itu beliau sedang duduk di antara para sahabat. Begitu melihat Abu Thalhah, beliau memberitahu para sahabat, “Abu Thalhah mendatangi kalian dengan cahaya Islam di kedua matanya.”
Abu Thalhah telah tiba di hadapan Rasulullah. Ia pun menceritakan tentang apa yang diminta oleh Ummu Sulaim binti Malhan. Abu Thalhah menyatakan Islam di depan umum lalu menikahi Ummu Sulaim menurut sunah Allah dan Rasul-Nya dengan mas kawin yang tak ternilai dengan harta benda, yaitu islam.
Demikianlah, diriwayatkan dari Anas ibn Malik, ia berkata, “Aku tidak pernah mendengar seorang wanita pun yang mendapat mahar lebih berharga di bandingkan dengan Ummu Sulaim. Maharnya adalah Islam.”
Demikianlah Ummu Sulaim, sang sahabat wanita yang beriman dan agung, ini menjalani kehidupan rumah tangga bersama Abu Thalhah berdasarkan ajaran Islam yang paling luhur.
Ummu Sulaim juga menjadi contoh bagi istri salehah dengan sebaik-baiknya memegang hak-hak suami yang beriman. Sebagai contoh bagi seorang ibu yang pengasih dan salehah, seorang pendidik yang mulia dan pendakwah bagi anak-anaknya.
Anas ibn Malik menceritakan tentang bagaimana cinta Abu Thalhah kepada Islam dan Rasulullah SAW. Ia berkata, “Abu Thalhah adalah sahabat Anshar Madinah yang paling kaya. Hartanya yang paling ia cinta adalah kebun Bairaha dan letaknya berhadapan dengan masjid Rasulullah. Beliau biasa memasuki taman itu dan minum air yang ada di dalamnya."
Allah SWT berfirman,
Surat Ali 'Imran Ayat 92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Ketika Allah menurunkan ayat di atas, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menurunkan ayat ini sementara hartaku yang paling aku cinta adalah kebun Bairaha. Karena itu, kebun ini aku sedekahkan karena Allah dan aku berharap kebaikan serta penyimpanannya di sisi Allah. Karena itu, gunakanlah kebun ini sekehendakmu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah bersabda, “Selamat. Itu adalah harta yang menguntungkan. Itu adalah harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar apa yang engkau katakan dan aku menyarankan agar engkau memberikannya kepada orang-orang terdekatmu.”
Abu Thalhah kemudian membagikan kebun tersebut kepada para kerabat dan sepupunya.