Tidak sekedar bersifat individual, namun nilai-nilainya meluas menjadi ketakwaan sosial. Kesalehan tak hanya bersifat vertikal (hamba dengan Tuhan), tapi juga bersifat horizontal (sesama manusia dan dengan makhluk lain yang juga merupakan ciptaan-Nya).
Istilah takwa, jika dirujuk ke makna awalnya, merupakan bentuk mashdar dari kata ittaqâ-yattaqi, yang bermakna menjaga diri dari segala yang membahayakan. Dalam Al-Quran, kata taqwa disebut 258 kali dalam berbagai bentuk dan konteks. Makna umumnya dipahami sebagai upaya seorang beriman untuk menjalankan semua perintah, dan menjauhi larangan.
Manusia bertakwa akan selalu menebar kebaikan kepada sesama dalam kondisi lapang dan sempit. Ruang memaafkannya luas. Mampu menahan kebencian dan berbuat baik kepada yang telah zalim kepada kita sekalipun. Bukankah ini merupakan energi hebat untuk melahirkan masyarakat yang saling percaya dan penuh cinta.
Al-Quran menyebut orang yang bertakwa untuk menggambarkan mereka yang dicintai Allah Swt. Mereka akan mendapatkan kebahagiaan abadi, mendapatkan kemenangan, dilindungi selalu oleh Allah Swt.
Tentu saja, butuh kesadaran kolektif untuk mendorong agar kesalehan individual menjadi kesalehan sosial, dari ketakwaan individual menjadi ketakwaan sosial. Karena demikianlah sejatinya, pada hal yang sederhana saja, kita tidak disebut orang beriman bilamana tidak mencintai tetangga atau saudaranya, seperti mencintai diri sendiri. Akidah yang personal, selalu tak terpisahkan dari dimensi sosial.