Kisah RA Kartini Nyantri ke Mbah Soleh Darat

Novie Fauziah/Suherni, Jurnalis
Selasa 21 April 2020 10:50 WIB
Ilustrasi. Foto: Shutterstock
Share :

Tanggal 21 April yang diperingati sebagai Hari Kartini merupakan tanggal kelahiran Raden Adjeng Kartini, wanita yang memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia. Ia merupakan salah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia yang sangat kritis.

Bukan hanya sekadar sosok pahlawan yang menjunjung tinggi harga diri perempuan, Kartini juga dikenal sebagai sosok yang religius. Ia haus akan ilmu pengetahuan agama, khususnya mempelajari Al-Qur’an beserta maknanya.

Dilansir dari laman NU Online, Selasa (21/4/2020), sosok Kartini dituliskan oleh ulama besar sekaligus guru bagi para pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yaitu K.H Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani (Mbah Sholeh Darat) dalam kitab tafsir Faidhur Rahmanmasih.

Di dalam kitab tersebut dijelaskan, bahwa Kartini merupakan perempuan yang terlahir berdarah biru, berkecukupan karena ia berasal dari keluarga priyai. Namun demikian tidak membuatnya menjadi merasa sombong, malahan sebaliknya ia sangat butuh pencerahan agama.

Suatu hari Kartini pun mempelajari Al-Qur’an namun tidak mengerti karena tak ada terjemahannya. Kartini pun mengibaratkan, bahwa belajar Al-Qur’an dengan model tersebut akan menjadikan umat Islam tidak mengetahui mutiara hikmah Al-Qur’an yang sebenarnya.

Akibat keresahannya itu, Kartini berusaha untuk tetap bisa belajar Al-Qur’an beserta isi kandungannya, bukan hanya sekadar terjemahannya saja. Berbagai macam bahasa asing seperti Belanda, Prancis dan Inggris saja ia telan dengan baik, maka bahasa agamanya, yaitu Arab juga ia pun berusaha pelajari.

Al-Qur’an yang dibacanya menggunakan bahasa Arab sehingga membuatnya pusing, karena itu ia merasa harus mempelajarinya kepada guru yang tepat. Hingga pada suatau hari Kartini bertemu Mbah Sholeh Darat, dan ia pun berguru menimba ilmu dari ulama besar tersebut, dan akhirnya menjadi santri Mbah Sholeh Darat mempelajari ilmu tafsir Al-Qur’an.

Pertemuan antara Kartini dan Mbah Sholeh Darat itu jauh hari sebelum 1901. Sebagaimana pendapat Moesa Mahfudz yang dikutip Abdullah Salim, bahwa pertemuan Kartini itu diperkirakan 1901, tapi kemungkinan besar itu pertemuan yang kesekian kalinya.

Dalam Tafsir Faidlur Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid Dayyan, dipaparkan sosok Kartini di jilid satu, ditulis selama 11 bulan oleh Mbah Sholeh Darat, yaitu pada 20 Rajab 1309 H/19 Februari 1892 sampai 19 Jumadal Ula 1310 H/9 Desember 1892 M.

Jilid pertama tafsir tersebut berjumlah 503 halaman dengan bahasan Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Baqarah. Kemudian kitab tafsir tersebut dicetak oleh Percetakan HM Amin Singapura pada 27 Rabiul Akhir 1311 H atau 7 November 1893.

Oleh Amirul Ulum ditegaskan, bahwa pertemuan Kartini dan Mbah Sholeh Darat sudah pernah dilakukan sebelum 1892, tepat sebelum Kartini dipingit.

Seorang suami dari wanita yang merupakan buyut Mbah Sholeh Darat, yaitu Agus Tiyanto atau dikenal juga Abu Malikus Salih Dzahir, menjelaskan bahwa sumber data Kartini pernah nyantri ke Mbah Sholeh Darat ini awalnya ditemukan oleh Moesa Machfudz (dosen sejarah UGM).

Sumber tersebut berdasarkan catatan pribadi murid Kyai Sholeh Darat, yaitu KH. Ma'shum Demak, dan itu dimuat dalam Majalah Gema Yogyakarta Nomor 3 Tahun 1978.

Sebelum bertemu dengam Mbah Sholeh Darat, pernah suatu hari Kartini menuliskan surat kepada sahabatnya di Belanda, Stella EH Zeehandelaar yaitu pada 6 November 1899. Isi suratnya sebagai berikut:

"Al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Di sini orang juga tidak tahu Bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca Al-Qur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya".

"Sama halnya seperti kamu mengajar saya membaca buku bahasa Inggris, yang harus hapal seluruhnya tanpa kamu terangkan maknanya kepada saya. Kalau saya mau mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk mempelajari bahasanya di sana. Walaupun tidak saleh, kan boleh juga jadi orang baik hati. Bukankah demikian Stella?" tambah Kartini dalam suratnya.

Isi surat Kartini kepada Stella mencerminkan bahwa ia begitu sangat kritis terhadap ilmu agama. Kartini tidak mau sembarang mempelajarinya, sebab itu semua berkaitan besar dengan akidah atau akhlak manusia yang sudah tertulis di dalam Al-Qur’an. Apalagi saat itu belum ada terjemahan Al-Qur’an ke bahasa Melayu.

Akhirnya Mbah Sholeh Daratlah menjadi guru pilihan Kartini untuk mempelajari ilmu tafsir Al-Qur’an, di mana menurutnya hal itu bukan pelajaran yang mudah dan harus dipelajari dengan orang yang tepat seperti Mbah Sholeh Darat.

(Abu Sahma Pane)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya