Berkaca pada Kasus Achraf Hakimi dan Istri, Ini Hukum Harta Gono-Gini dalam Islam

Vivin Lizetha, Jurnalis
Selasa 18 April 2023 10:38 WIB
Hukum harta gono-gini dalam Islam. (foto: Istimewa)
Share :

KABAR perpisahan antara Paris Saint-Germain (PSG), Achraf Hakimi, dengan sang istri, Hiba Abouk, mencuri perhatian publik. Bukan lantaran alasan perceraian itu terjadi, melainkan tuntutan Hiba atas harga gono gini dari sang suamiyang digugatnya.

Ibu dua anak itu meminta separuh dari kekayaan Achraf yang memang diketahui mendapatkan bayaran besar dari klubnya. Namun fakta di pengadilan cukup membuat Hiba syok karena ia tidak dapat mewujudkan tuntutannya tersebut.

 BACA JUGA:

Mengingat, seluruh kekayaan Achraf mulai dari 80 persen gajinya di PSG hingga propertinya didaftarkan atas nama sang ibu, Fatima.

Kisah tragis Hiba yang tak jadi mendapatkan harga gono gini dari sang suami, membuat kasus perceraian ini menjadi sorotan masyarakat.

Terlepas dari itu, apa hukum harta gono gini dalam Islam?

Dikutip dari NU Online, Selasa (18/4/2023), Istilah ini hanya digunakan di Indonesia. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan disebut adat perpantangan. Ia adalah harta milik bersama dari suami dan istri yang mereka peroleh selama perkawinan.

 BACA JUGA:

Ini disebutkan dalam UU Perkawinan 01/74 pasal 35. Jika salah satunya meninggal dunia, maka hartanya, sebelum diwaris, dibagi dua terlebih dulu. Separoh diberikan kepada pasangannya yang hidup, yang separoh lagi dibagi untuk ahli waris.

Sebenarnya, harta gono gini tidak ada dalam sejarah Islam. Namun hukum fiqih Islam menghargaikan adat istiadat di suatu kaum.

Seperti landasan fiqih berikut ini.

الثابت بالعرف كالثابت بالنص

"Ketetapan hukum yang didasarkan atas tradisi sama dengan ketetapan yang didasarkan atas syara’."

atau

استعمال الناس حجة يجب العمل يها

"Kebiasaan masyarakat banyak adalah dasar hukum yang harus diikuti."

Oleh karena itu, NU Online menyimpulkan bahwa agama Islam menghargai adanya adat harta gono gini. Hukum Islam cukup luwes, luas, dan dinamis, asal tidak tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama atau maqashid al syari’ah.

Sesuai dengan yang disampaikan Imam Syihab al-Din al-Qarafi (w.1285 M), tokoh besar dalam mazhab Maliki, dalam bukunya yang terkenal al-Furuq.

Beliau mengatakan :

"فمهما تجدد فى العرف اعتبره ومهما سقطت أسقطه ولا تجمد على المسطور فى الكتب طول عمرك بل اذا جاءك رجل من غير إقليمك يستفتيك لا تجره على عرف بلدك واسأله عن عرف بلده وافته به دون عرف بلدك والمقرر فى كتبك. فهدا هو الحق الواضح والجمود على المنقولات أبدا ضلال فى الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين" (الفروق, ج 1 ص 176-177).

“Manakala tradisi telah terbarui, ambillah, jika tidak, biarkanlah. Janganlah kamu bersikap kaku terhadap sumber-sumber tertulis dalam buku-bukumu sepanjang hidupmu. Jika ada seseorang datang kepadamu dari negeri lain dengan maksud meminta fatwa kepadamu, janganlah kamu sampaikan fatwa berdasarkan tradisi negerimu. Bertanyalah lebih dulu tentang tradisinya, dan berikanlah fatwa berdasarkan tradisinya, bukan tradisimu dan bukan pula menurut yang ada di buku-bukumu. Ini adalah cara yang benar dan jelas.”(Al-Qarafi, al-Furuq, I/176-177).

Waallahua'lam.

(Vivin Lizetha)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya