JAKARTA - Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur mengizinkan pernikahan warga yang memiliki latar belakang beda agama, mengundang reaksi Mahkamah Agung (MA). Alasannya, MA telah menerbitkan pedoman yang intinya meminta Pengadilan untuk tidak mengambulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
Pedoman tersebut termuat dalam SEMA Nomor 02 Tahun 2023. "Pada pokoknya melarang Pengadilan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Sobandi, Rabu, (30/8/2023).
Dikatakan Sobandi, SEMA itu disusun oleh Kelompok Kerja (Pokja) MA yang melibatkan para stakeholder terkait antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), tokoh agama dan pemuka agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha.
Putusan MA tersebut juga sesuai dengan jumhur ulama yang tercermin dari putusan tiga organisasi Islam, seperti MUI, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Ketiga organisasi Islam tersebut mengatakan bahwa nikah beda agama tidak sah.
Rangkuman Pendapat MUI, Muhammadiyah dan NU Terkait Nikah Beda Agama
1. MUI
Dalam fatwa nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama yang disahkan oleh Komisi C Bidang Fatwa tersebut, menghasilkan dua poin utama. Pertama, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Seperti dikutip situs resmi MUI, fatwa tersebut berlandaskan pada nash agama baik itu Alquran, hadits, hingga qaidah fiqh. Seluruh kesepakatan, merujuk serta mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari perkawinan beda agama.
Beberapa ayat yang menjadi rujukan penetapan fatwa di antaranya: Surat An Nisa ayat 3, Surat Ar Rum ayat 21, Surat At Tahrim ayat 6, surat Al Maidah ayat 5, Al Baqarah ayat 221, Al Mumtahanah ayat 10, dan An Nisa ayat 25 serta hadits Rasulullah SAW.
2. Muhammadiyah
Dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang, Jawa Timur, menyimpulkan bahwa para ulama sepakat perempuan Muslimah haram menikah dengan laki-laki musyrik. Putusan tersebut menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muchammad Ichsan sejalan dengan penggalan QS. al-Baqarah ayat 221.
Pengharaman nikah beda agama merupakan upaya sadd adz-dzari’ah (mencegah kerusakan), untuk menjaga keimanan calon suami/istri dan anak-anak yang akan dilahirkan. Terkait perbedaan Dalam keterangan lain di situs Muhammadiyah.or.id disebutkan kalau ada perselisihan para ulama ialah: Bolehkah laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab (yaitu Yahudi dan Nasrani: Katolik/Protestan)?
Ada yang mengatakan boleh, dengan bersandarkan kepada firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5. Ada pula yang mengatakan tidak boleh. Namun demikian kami telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh dengan beberapa alasan, antara lain: Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. NU
Dikutip dari NU Online, Pernikahan beda agama pernah dibahas dalam Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama tahun 1989. Dalam kesempatan itu, para ulama NU menetapkan pernikahan antarumat berbeda agama adalah tidak sah.
Ketetapan tersebut senada dengan keputusan yang pernah dibuat ulama-ulama NU pada Muktamar NU dan Muktamar Thariqah Mu’tabarah tahun 1968. Para ulama mendasari keputusan hukumnya itu pada pandangan para ulama terdahulu.
Di antaranya, berdasarkan kitab Hasyiyah as-Syarqawi karya Syekh Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim as-Syarqawi. Dijelaskan dalam kitab tersebut, bahwa pernikahan seorang Muslim dengan perempuan non-Muslim selain ahli kitab murni adalah batal. Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221.
(Maruf El Rumi)