INILAH kisah mualaf Lauren Booth, adik ipar mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Ia menjadi mualaf pada 2010. Perjuangannya dalam menemukan hidayah Islam dari Allah Subhanahu wa Ta'ala tergolong cukup panjang. Terlebih lagi dia sempat memiliki ketenaran sebagai selebritas dengan harta melimpah.
Lauren Booth terlahir dari latar belakang keluarga selebritas yang memiliki popularitas dan tidak percaya agama. Namun, dia justru tumbuh menjadi orang yang berkeyakinan bahwa ada satu Tuhan di dalam hidupnya.
Melihat anaknya berbeda dengan anggota keluarga lain, sang ibu pun bingung. Ia bahkan sempat berdiskusi dengan anggota keluarga terkait sosok Lauren yang menjadi ekstrimes dalam beragama.
Menginjak usia 20 tahun, Lauren menjadi artis terkenal. Mungkin hal itu terjadi karena sang kakak ipar adalah seorang perdana menteri. Di sisi lain, Lauren yakin dirinya memang memiliki bakat mumpuni hingga menarik perhatian khalayak. Tapi, ketenaran itu justru menjadi racun dalam dirinya.
"Selebritas membuat ketagihan. Aku paham soal narkoba, paham soal minuman keras. Tapi status selebritas dan media sosial lebih membuat ketagihan, seperti gula," ungkap Lauren Booth, seperti dikutip dari kanal YouTube Ape Astronaut, Kamis (5/10/2023).
Hidayah Islam itu perlahan muncul pada tahun 2000, ketika dia melahirkan anak pertama. Suatu malam Lauren menonton berita di televisi yang menyiarkan kabar negara Palestina. Dalam siaran itu ia melihat anak laki-laki berusia 15 tahun dengan berani melempar batu ke tank Israel. Bukannya kabur, anak itu justru menghampiri tank tersebut.
"Jika tank itu mengarah pada kita, dalam situasi di mana kita berada sekarang, kita akan lari ke arah berlawanan kan. Itu insting manusia. Tapi anak laki-laki kecil ini dengan sebuah batu di tangannya malah maju mendekati tank tersebut," kata Lauren.
"Aku hanya berkata dalam hari: 'Larilah wahai bocah Timur Tengah yang aneh. Wahai anak asing aneh yang berada di tempat penuh debu dan kamp-kamp pengungsi. Pulanglah! Pulang! Ibumu telah menantikanmu'," imbuhnya.
Kemudian berita tersebut menampakkan pemandangan foto keadaan Kota Gaza di Palestina. Rumah-rumah di sana tampak hancur lebur karena serangan-serangan Israel.
Lauren merasa miris melihat foto-foto tersebut. Sepuluh hari kemudian, ia mengetahui bahwa Faris Odeh, bocah kecil tersebut, ditembak mati oleh sniper Israel. Dia pun terkejut dan sangat sedih.
Lima tahun kemudian Lauren mendapat tugas ke Palestina. Ketika itu dia sedang tinggal di Prancis dengan suami yang baik, dua putrinya yang cantik, dan rumah besar lengkap dengan kolam renang. Namun entah mengapa, di dalam benaknya justru menyuruhnya pergi ke Palestina.
"Kami tinggal di salah satu tempat terindah juga paling damai yang ada di seluruh penjuru bumi milik Allah ini. Dan aku ingin pergi ke Palestina? Apa artinya itu? Itulah yang disebut dengan 'sebuah panggilan'," beber Lauren.
Pada 2005, akhirnya ia pergi ke Palestina. Tiga hari setelah sampai di sana, Lauren sendirian melakukan perjalanan mengelilingi wilayah Tepi Barat. Rupanya para kru media tempatnya bekerja lupa mengingatkan untuk tetap berada di dalam kamar. Seharusnya Lauren tidak dibolehkan jalan-jalan sendiri dan bertemu kaum Muslimin.
"Media tempatku bekerja lupa memberitahuku: 'Begini caramu pergi ke Palestina. Kamu tetap di kamar hotel, telepon mereka dan mereka akan mendatangimu. Jangan keluar. Jangan bertemu dengan para Muslim, mereka berbahaya. Kau bisa diculik, hilang, dan tidak bisa kembali. Mereka akan membohongimu'," ujar Lauren.
Meski demikian, dia tidak melakukan hal tersebut. Lauren justru menyapa ramah para Muslim, bahkan sempat melakukan perjalanan bersama dengan mereka. Setelah sendirian mengelilingi Tepi Barat, ia melihat kenyataan yang berbeda dengan pemberitaan media.
Terdapat tiga hal yang langsung muncul dalam benak Lauren. Pertama, kenyataan bahwa selama ini orang-orang ditipu oleh media mengenai berita orang Muslim. Kedua, Lauren selama ini tidak tahu apa pun tentang ajaran Kristen, justru orang Muslim yang lebih mengenal Yesus daripada dirinya.
Ketiga, Lauren merasa harus membaca Alquran setelah melihat perilaku orang Muslim sangat ramah dan baik kepada dirinya yang merupakan orang asing. Meski demikian, dia belum yakin untuk menjadi mualaf.
Pada 2009, keluarga Lauren mengalami masa-masa traumatis. Pada bulan Januari, dia memiliki seorang suami, rumah yang besar dan pekerjaan yang tetap.
Namun pada bulan Oktober, dia tidak memiliki suami, rumah, dan juga menjadi pekerjaan tetap. Lauren benar-benar tidak memiliki apa pun saat itu, bahkan hampir kehilangan anak-anaknya.
"Sampai pada sebuah titik di sekitar bulan Oktober 2009, saat aku tinggal di sebuah kamar sewaan di London yang aku tidak mampu untuk membayarnya, tidak memiliki mobil, ditambah dengan adanya tuntutan di pengadilan yang coba merenggut anak-anak dariku. Lalu saat itu bersujud dan berkata: 'Ya Allah, aku hanya minta anak-anakku'," tuturnya.
Pada 2010, Lauren pergi ke Iran sebagai jurnalis. Hingga suatu ketika dia berakhir dalam sebuah masjid saat bulan Ramadhan. Lauren duduk di dalam masjid tersebut dan merasa sedang berada di sebuah air terjun kedamaian. Sejak itu dia merasa tenang dan yakin bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Seminggu kemudian Lauren kembali ke London dan berjalan memasuki sebuah masjid. Ketika itulah ia mantap memeluk Islam dan resmi menjadi mualaf.
"Sepekan kemudian, sekembaliku ke London, aku berjalan memasuki sebuah masjid. Aku menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah serta tak ada sekutu bagi-Nya, dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya yang terakhir. Lalu tiba-tiba pada Jumat malam, aku menjadi seorang Muslimah. Allahu Akbar," pungkasnya.
Wallahu a'lam bisshawab.
(Hantoro)