INILAH kisah momen Khadijah binti Khuwailid jatuh cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam. Khadijah sempat bingung ketika dirinya ada hati untuk menikah dengan Rasulullah. Sebab waktu itu ia tidak yakin Nabi mau dengan dirinya yang sudah pernah menikah dua kali.
Namun sebelum ke momen jatuh cinta itu, simaklah kisah ketika pintu-pintu Masjidil Haram di Makkah terbuka, lalu para wanita berdatangan ke Baitullah. Khadijah dan orang-orang di sekelilingnya segera masuk ke Kakbah, terbungkus oleh pakaian sutra dan wajah yang memancarkan cahaya.
Khadijah masuk melalui Pintu Ibrahim. Samar-samar ia merasakan bahwa takdir sedang menyimpan sesuatu yang indah untuknya. Dia tidak tahu apakah sesuatu itu, tetapi bisa merasakan bahwa sesuatu itu akan mengantarkannya untuk mewujudkan impian-impian besar yang selalu membayangi sepanjang hari, baik saat tertidur maupun terjaga.
Khadijah melaksanakan thawaf di Baitullah sebanyak tujuh kali lalu berhenti di Multazam, di antara Hajar Aswad dan Kakbah. Ia mulai berdoa dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pertama-tama, Khadijah tidaklah meminta untuk diberkahi dalam berdagang, tetapi memohon dengan sangat dan sungguh-sungguh agar impian-impiannya bisa terwujud.
Wanita yang suci dan terhormat, junjungan kaum Quraisy serta para wanita di seluruh dunia pada masa itu: Khadijah binti Khuwailid ibn Asad ibn Abdil 'Uzza ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Kab ibn Lu'ay ibn Ghalib. Ibunya bernama Fatimah binti Za idah ibn Asham ibn Haram ibn Rawahah.
Khadijah lahir di tengah keluarga terhormat dan terpandang, sekira 15 tahun sebelum tahun Gajah (68 SM). Ia pun tumbuh di suatu keluarga terhormat hingga menjelma menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung.
Khadijah terkenal memiliki keteguhan dan kecerdasan serta tata krama yang sangat luhur. Oleh karena itu, Khadijah menjadi pusat perhatian bagi para pembesar kaum Quraisy.
Sebelum membangun rumah tangga dengan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam, Khadijah menikah dengan Abu Halah ibn Zararah At-Taimi dan melahirkan dua anak: Halal serta Haram. Ketika Abu Halah meninggal dunia, Khadijah menikah lagi dengan Atiq ibn Abid ibn Abdullah al-Makhzumi.
Khadijah tinggal bersama Atiq beberapa waktu, tetapi kemudian mereka berpisah. Setelah Khadijah berpisah dengan Atiq, banyak pembesar Quraisy yang melamarnya. Namun, ia lebih memilih memusatkan perhatian mengasuh anak-anaknya dan mengurus urusan perdagangan hingga menjadi wanita yang kaya raya.
Dengan sistem mudharabah (bagi hasil), Khadijah juga mempekerjakan banyak laki-laki untuk menjalankan dagangannya. Ketika mendengar kabar tentang kejujuran, amanah, dan akhlak mulia yang dimiliki Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam sebelum diutus menjadi Rasulullah, Khadijah meminta agar Muhammad membawa barang dagangannya ke Negeri Syam bersama seorang budak miliknya yang bernama Maisarah. Khadijah mensyaratkan akan memberi upah yang lebih besar dibandingkan yang lain.
Muhammad Ash-Shadiq al-Amin itu pun menyepakati tawaran Khadijah. Lalu ia pergi bersama budak Khadijah. Dalam perdagangan ini pun Allah Subhanahu wa Ta'ala memberinya pertolongan hingga berhasil mendapat keuntungan yang sangat banyak.
Khadijah sangat senang dengan keuntungan besar yang didapat melalui tangan Muhammad Shallallahu alaihi wassallam itu, dan kekaguman Khadijah terhadap pribadi Rasulullah makin besar serta mendalam ketika menemuinya. Muhammad adalah pemuda yang ceria, tampan, dan rupawan. Kedua matanya lebar dan sangat hitam (bola matanya).
Kedua bibirnya mengalir dengan suara parau menceritakan tentang keuntungan yang mereka dapat. Kali ini keuntungan yang diperoleh berlipat-lipat dari biasanya. Dengan menampakkan wajah gembira, Khadijah berbicara sementara Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam mendengarkan dengan penuh perhatian.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam mampu menjadi pendengar yang baik, diam dengan baik, dan bisa berbicara dengan baik. Ketika diam, beliau menampakkan kewibawaan. Ketika berbicara, ia menampakkan kecemerlangan dan logika yang cerdas, tidak terlalu jarang dan tidak terlalu banyak.
Jika Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam berbicara atau tersenyum, gigi-giginya bersinar putih dan bersih. Khadijah mulai berpikir bahwa Nabi Muhammad adalah pemuda yang sekufu baginya. Bahkan, dia merasa telah tertawan oleh spirit Nabi Muhammad yang kuat, membuat jiwanya sendiri tunduk sekaligus memancarkan kebahagiaan.
Itulah ketakutan orang yang mabuk dan khudlu' (tunduknya)-nya pecinta. Kepasrahan pecinta dalam memandang orang yang dicintai. Namun, Khadijah berpikir apakah pemuda yang bergelar al-amin dan ash-shadiq itu mau menikah dengan dirinya yang sudah berumur 40 tahun? Apakah mungkin Nabi Muhammad menerima perasaan seorang janda tua sementara ia berpaling dari gadis-gadis Makkah dan bunga-bunga Bani Hasyim yang segar?
Dalam cengkeraman kebingungan dan rasa gelisah itu, datanglah seorang sahabatnya, Nafisah binti Muniyah. Begitu sang sahabat mengajaknya bicara, segeralah tersingkap rahasia yang tersembunyi. Nafisah menganggap itu sebagai hal yang mudah karena di antara wanita- wanita Quraisy tidak ada wanita yang lebih tinggi nasab dan kehormatannya daripada Khadijah yang kaya sekaligus cantik. Semua orang sangat ingin menikah dengannya, jika itu mungkin.
Begitu keluar meninggalkan Khadijah sahabatnya, Nafisah bergegas menemui Muhammad al-Amin Ash-Shadiq dan segera memulai pertanyaan dengan sangat cerdas: "Wahai Muhammad, apakah yang membuatmu belum menikah?"
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam menjawab, "Aku tidak memiliki biaya untuk menikah." Sambil tersenyum, Nafisah berkata, "Jika engkau dicukupi lalu diajak untuk memasuki pintu kekayaan, kehormatan, dan kecukupan, apakah engkau bersedia?"
Dengan penasaran Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam bertanya, "Siapakah ia?" Tanpa menunggu lama, Nafisah menjawab, "Khadijah binti Khuwailid."
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam menjawab, "Jika ia mau, aku terima." Nafisah segera menyampaikan kabar gembira itu kepada Khadilah. Ada pun Muhammad al-Amin memberitahukan kepada paman-pamannya akan keinginannya untuk menikah dengan Khadijah.
Paman Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam, Abu Thalib, Hamzah dan lain-lain segera pergi bertandang ke kediaman paman Khadijah Amar ibn Asad ibn Abdil Uzza ibn Qushay untuk meminang Khadijah. Sang paman begitu memuji Nabi Muhammad dan segera menikahkan mereka dengan maskawin 20 anak unta.
Setelah akad nikah berlangsung, hewan-hewan itu pun disembelih dan dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Rumah Khadijah dibuka untuk semua keluarga dan kerabat. Salah satu dari mereka yang hadir adalah Halimah As-Sa'diyah, ibunda yang menyusui Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam yang datang untuk menyaksikan pernikahan putranya.
Setelah acara selesai, Halimah pulang ke tengah kaumnya dengan membawa 40 kepala kambing sebagai hadiah dari pengantin wanita yang mulia (Khadijah) untuk orang yang telah menyusui Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam, suaminya tercinta.
Wanita junjungan kaum Quraisy yang suci itu kini menjadi istri dari Muhammad al-Amin dan ia menciptakan banyak bukti yang agung dan indah untuk menunjukkan cintanya kepada suami dan kesiapannya untuk berkorban demi orang yang dicintai.
Ketika melihat bahwa sang suami menyukai budaknya, Zaid ibn Haritsah, Khadijah menghibahkan budak itu kepada suaminya. Ketika menyadari bahwa sang suami ingin membawa saudara sepupunya, Ali ibn Thalib ke rumah Khadijah, ia pun menyambut keinginan itu dengan baik.
la memberi ruang cukup bagi Ali radhiyallahu anhu untuk menimba akhlak dari suaminya, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam. Mereka berdua melewatkan masa-masa damai penuh dengan ketenangan dan kedamaían selama 15 tahun.
Allah Subhanahu wa Ta'ala pun semakin menyempurnakan nikmat-Nya kepada mereka dengan mengaruniai beberapa putra dan putri Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah.
Saat itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala membuat Muhammad al-Amin menjadi suka berkhalawat hingga tidak ada sesuatu pun yang lebih beliau sukai daripada menyepi seorang diri. Setiap tahunnya, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam menyendiri di Gua Hira untuk beribadah selama satu bulan penuh.
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam tinggal di gua itu selama malam-malam yang panjang dengan bekal yang hanya sedikit jauh dari permainan dan senda gurau penduduk Makkah, serta menjaga diri dari penyembahan terhadap berhala yang biasa mereka lakukan.
Khadijah tidak ingin mengganggu hari-hari yang dilalui suaminya dengan penuh khusyuk dalam berkhalwat. Khadijah tidak mau mengeruhkan kejernihan perenungan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam dengan banyak bertanya dan berbicara.
Bahkan, Khadijah berusaha sekuat mungkin memberikan perlindungan dan ketenangan ketika Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam berada di rumah. Ketika Nabi Muhammad berangkat menuju Gua Hira, kedua mata Khadijah hanya dapat memandangi suami tercintanya dari kejauhan. Walau demikian, ia tetap mengutus seseorang untuk menjaga dan mengawasi suaminya dari jauh, tanpa mengganggu khalwatnya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam melakukan kebiasaan itu hingga beberapa waktu. Selanjutnya, pada bulan Ramadhan, saat Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam berada di Gua Hira, datanglah Malaikat Jibril membawa suatu kehormatan berupa wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ketika fajar menyingsing, Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bergegas pulang ke rumah dengan penuh ketakutan sampai-sampai tubuhnya menggigil. Beliau berkata,"Selimutilah aku! Selimutilah aku!"
Khadijah segera merangkul sang suami. Dengan penuh percaya diri dan keyakinan, Khadijah berbisik kepada sang suami, "Allah pasti melindungi kita wahai Abu al-Qasim. Bergembiralah dan teguhkanlah dirimu wahai putra pamanku! Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku sungguh berharap engkau menjadi nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan pernah menyusahkanmu karena engkau orang yang suka menyambung silaturahmi, berbicara jujur, menanggung amanah, menghormati tamu, dan membela kebenaran."
Wallahu a'lam bisshawab.
*Dikutip dari buku 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam karya Dr Bassam Muhammad Hamami, halaman 31–35.
(Hantoro)