Namun saran tersebut ditolak mentah-mentah oleh keluarga tuan menteri. Hari berikutnya tuan menteri memanggil tabib keempat. Sang tabib membawakan buku berisi cerita dongeng anak. Ia pun mendekati anak tuan menteri dan membacakan cerita yang ada di dalam buku tersebut.
Awalnya si anak tertarik, tapi akhirnya memilih kembali menabuh rebana. Usaha tabib keempat pun dianggap gagal.
Begitu juga dengan tabib kelima, meskipun membacakan mantra, si anak tetap saja tidak menunjukkan perubahan. Hal ini membuat tuan menteri kewalahan menghadapi anak satu-satunya itu.
Sampai akhirnya terlintas di benaknya untuk meminta bantuan Abu Nawas. Maka, pergilah tuan menteri menemui Abu Nawas.
Ia pun menceritakan permasalahan yang sedang dialami. Setelah mendengar keluhan tuan menteri, Abu Nawas kemudian bertanya, "Di rumah tuan apakah ada palu dan pahat?"
Mendengar pertanyaan tersebut, tuan menteri menjadi heran. "Ada, tapi apa hubungannya Abu Nawas?" kata tuan menteri balik bertanya.
"Nanti tuan juga akan tahu. Ayo lebih baik kita segera ke rumah tuan," ajak Abu Nawas.
Singkat cerita sampailah Abu Nawas di rumah tuan menteri. Di sana Abu Nawas terus memerhatikan si anak yang tengah asyik menabuh rebana tanpa henti.
Abu Nawas lantas berkata kepada tuan menteri, "Mana palu dan pahatnya?
Tuan menteri pun segera memberikannya. Abu Nawas lalu mendekati si anak dengan membawa palu dan pahat.
"Aku perhatikan kamu semangat sekali menabuh rebana?" tanya Abu Nawas.
"Iya karena bunyinya keras dan merdu," jawab si anak.
"Benarkah? Akujadi penasaran ingin tahu apa yang ada di dalam rebana itu. Coba kamu congkel isinya," balas Abu Nawas sambil memberikan palu dan pahat.
Si anak yang juga penasaran menuruti apa yang dikatakan Abu Nawas. Dia langsung memahatnya dengan palu sehingga membuat rebana tersebut pecah dan tidak bisa lagi digunakan.
Si anak pun hanya bisa menyesali nasibnya. Ia mau menangis dan mengamuk tapi tidak berani karena yang merusak rebananya adalah diri sendiri.
Allahu a'lam.
(Hantoro)