JAKARTA - Kisah wafatnya Imam Bukhari sang ulama ahli hadis patut diketahui umat Islam. Ia meninggal dunia pada usia 62 tahun.
Imam Bukhari memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah bin al-Ja’fi al-Bukhari.
Ia lahir pada malam Jumat, 13 Syawwal 194 Hijriah. Imam Bukhari lahir di Kota Bukhara, wilayah yang kini termasuk Uzbekistan, Asia Tengah.
Imam Bukhari memiliki karya fenomenal yakni Sahih Bukhari, kitab hadis paling autentik setelah Alquran.
Imam Nawawi bahkan menyatakan kesahihan hadis-hadis dalam kitab ini telah disepakati oleh para ulama sepanjang zaman.
Imam Bukhari wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 Hijriah (870 Masehi). Tepat pada malam Sabtu setelah sholat Isya.
Sebelum wafat, Imam Bukhari sempat berdoa kepada Allah SWT. Ia diserang berbagai fitnah.
"Ya Allah, dunia telah menjadi sempit bagiku dengan segala fitnahnya. Maka panggillah aku kepada-Mu."
Tak berselang lama setelah memanjatkan doa, Imam Bukhari jatuh sakit. Di malam Idul Ditri, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazah Imam Bukhari dimakamkan di Khartank.
Kisah wafatnya Imam Bukhari menandai akhir perjalanan seorang ulama agung yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk ilmu dan hadis Nabi.
Keilmuan Imam Bukhari tidak lahir begitu saja. Perjalanannya dalam mencari hadis, menghafal, serta menyusunnya dalam karya agung Sahih Bukhari patut untuk dikenang. Mari simak perjalanan hidup Imam Bukhari, sebagaimana melansir laman NU Online, Kamis (10/7/2025):
Sejak kecil, Imam Bukhari buta. Sang ibu tidak berhenti berdoa memohon agar anaknya sembuh.
Suatu malam, sang ibu bermimpi bertemu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dalam mimpi itu, Nabi Ibrahim menyampaikan kabar penglihatan anaknya telah dikembalikan oleh Allah. Benar saja, keesokan paginya, Imam Bukhari kembali dapat melihat.
Ketekunan dan kecintaan Imam Bukhari terhadap ilmu hadis sudah terlihat sejak usia belia. Sebelum menginjak usia 10 tahun, ia telah menghafal banyak hadis.
Saat berusia 16 tahun, ia telah menghafal kitab karya Ibnul Mubarak dan Waki’ serta memahami fikih ashabul ra’yi atau madzhab Hanafi.
Bersama ibu dan saudaranya Ahmad, ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu, ibunya dan Ahmad kembali pulang. Sementara Bukhari memilih tinggal di Makkah untuk memperdalam ilmu hadis.
Imam Bukhari menimba ilmu dari ratusan ulama di berbagai negeri. Ulama itu di antaranya Abdullah bin Muhammad bin Ja’ar al-Yamani, Muhammad bin Salam, dan banyak lainnya.
Perjalanan ilmiahnya membawanya ke Bashrah, Syam, Hijaz, hingga Kufah. Para ulama kemudian mengabadikan nama-nama gurunya dalam berbagai karya biografi.
Ilmu dan ketakwaan Imam Bukhari mendapat pujian dari para ulama besar. Beberapa Ulama berikut membuktikan kemuliaan ilmunya:
Ulama Makkah berkata:
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ إِمَامُنَا وَفَقِيهُنَا وَفَقِيهُ خُرَاسَانَ
“Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) adalah imam kami, ahli fikih kami, dan ulama besar Khurasan.”
Muhammad bin Abi Hatim meriwayatkan:
سَمِعْتُ مَحْمُودَ بْنَ النَّضْرِ أَبَا سَهْلٍ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: دَخَلْتُ الْبَصْرَةَ وَالشَّامَ وَالْحِجَازَ وَالْكُوفَةَ، وَرَأَيْتُ عُلَمَاءَهَا كُلَّمَا جَرَى ذِكْرُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ فَضَّلُوهُ عَلَى أَنْفُسِهِمْ
“Aku mendengar Mahmud bin an-Nadhr berkata, ‘Aku mengunjungi Bashrah, Syam, Hijaz, dan Kufah. Setiap kali nama Muhammad bin Ismail disebut, para ulama di sana selalu memuliakannya melebihi diri mereka sendiri.’”
Imam Nawawi berkata:
اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ أَصَحَّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ صَحِيحَا الْبُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ، وَاتَّفَقَ الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ صَحِيحَ الْبُخَارِيِّ أَصَحُّهُمَا صَحِيحًا، وَأَكْثَرُهُمَا فَوَائِدَ
“Para ulama sepakat bahwa kitab paling sahih setelah Al-Qur’an adalah Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Dan mayoritas ulama lebih mengunggulkan Sahih Bukhari karena lebih sahih dan penuh manfaat.”
Wallahualam
(Erha Aprili Ramadhoni)