JAKARTA - Jika suami tidak menjalankan sholat, apakah seorang istri boleh menasihatinya? Hal ini patut diketahui umat Islam.
Dalam kehidupan berumah tangga, jika ada kekeliruan memang sepatutnya untuk saling menasihati. Allah SWT berfirman :
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ Artinya: “Serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran." (QS. Al-'Ashr [103]: 3).
Melansir laman NU, Rabu (19/11/2025), penafsiran saling menasihati untuk kebenaran, dalam perspektif Syekh Nawawi Banten, adalah saling mendorong untuk melaksanakan hukum syariat yang berkaitan dengan keilmuan atau sebuah amalan. Sedangkan maksud dari menasihati untuk kesabaran adalah saling mendorong untuk bersabar dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi segala larangan-Nya. (Syekh Nawawi Banten, Marah Labid li Kasyfi Ma'nal Qur‘anil Majid, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah], jilid II, hal. 661).
Kewajiban taat kepada suami tidak ada hubungannya dengan kewajiban kita sebagai hamba Allah. Jadi, meskipun seorang suami tidak menjalankan perintah Allah, itu tidak otomatis membuatnya boleh untuk tidak ditaati.
Kewajiban taat kepada suami memang secara implisit telah dijelaskan dalam Alquran Surat An-Nisa' ayat 34:
فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُۗ
Artinya: "Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka)." (QS An-Nisa': 34).
Ayat ini secara implisit menjelaskan kewajiban taat istri kepada suaminya secara wajar. Sebagian kitab tafsir, misalnya yang termaktub dalam kitab Tafsirul Khazin, mengartikan lafal qanitatun dengan para perempuan yang taat kepada para suaminya. Al-Khazin menafsirkan sebagaimana berikut.
فَالصَّالِحاتُ يعني المحسنات العاملات بالخير قانِتاتٌ أي مطيعات لأزواجهن وقيل مطيعات لله
Artinya: "Perempuan shalehah adalah mereka yang berbuat kebaikan-kebaikan, mereka yang taat kepada para suaminya. Ada juga yang mengatakan, mereka yang taat kepada Allah." (Imam Khazin, Tafsirul Khazin, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 1994], juz I, halaman 370).
Namun, soal menaati suami, ketaatannya tidak mutlak, tidak semua apa yang diperintahkan suami wajib dipenuhi. Artinya, sebagai istri sebaiknya taat setiap perintah suaminya, tapi tidak dalam soal kemaksiatan, spesifiknya kejahatan, keburukan dan tindak kriminal. Sedangkan kemaksiatan yang dilakukan suami, misalnya meninggalkan sholat wajib, sekali lagi, tidak berkaitan dengan kewajiban ketaatan kepada suami. Dalam konteks menaati setiap perintah suami, Sayyid Muhammad bin Alawi berkata:
ومما يُساعد على حُسْنِ العِشرة : أن تُطيعه في كُلِّ ما يأمر به، ما لم يَكُنْ مَعصية الله تعالى، إذ لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق، إنما الطاعة في المعروف
Artinya: "Termasuk tindakan yang dapat membantu mu'asyarah yang bagus (bagi istri) adalah taat kepada suami dalam setiap perintahnya selama perintah tersebut bukan kemaksiatan. Sebab, tidak wajib taat kepada makhluk dalam urusan kemaksiatan kepada Tuhannya. Ketaatan hanya berlaku dalam kebaikan," (Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas, Adabul Islam fi Nizhamil Usrah, [Mekkah: Darul Haram, t.t.], hal. 18).
Jadi, sebagai seorang istri, taat kepada suami tidak dibatasi dengan perilaku buruk yang dilakukan suami. Perilaku buruk tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak taat kepada suami. Hanya alasan perintah kepada perbuatan buruk saja yang boleh diabaikan oleh istri.
Bagaimanapun, menasihati suami ketika ia keliru adalah bagian dari tanggung jawab istri dalam kebaikan. Namun, kekhilafan tersebut tidak serta-merta menjadi alasan untuk mengabaikan sikap hormat dan ketaatan yang tetap menjadi bagian dari hubungan suami-istri.
Kewajiban sebagai hamba Allah tentu sangat penting, tetapi menjaga kewajiban masing-masing dalam rumah tangga dan merawat keharmonisan juga tidak kalah penting. Wallahualam
(Erha Aprili Ramadhoni)