Tadharru’ yakni sikap merendahkan diri, penuh ketundukan, dan jauh dari kesan berlebih-lebihan. Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan:
اُدْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (الأعراف: 55)
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. al-A’raf [7]: 55).
Ayat ini sangat relevan dengan praktik melagukan doa. Melodi dan irama boleh ada, tetapi tidak boleh melampaui batas sehingga menghilangkan kekhusyukan atau berubah menjadi pertunjukan.
Mengakhiri doa dengan pujian kepada Allah merupakan bentuk syukur dan pengakuan bahwa segala urusan kembali kepada-Nya. Al-Qur’an menggambarkan adab ini dengan indah:
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (يونس: 10)
“Doa mereka di dalamnya ialah: ‘Subhanakallahumma’, dan penghormatan mereka ialah: ‘Salaam’. Dan penutup doa mereka ialah: ‘Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.’” (QS. Yunus [10]: 10).