Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Hukum Menikahi Perempuan Hamil dalam Islam

Novie Fauziah , Jurnalis-Rabu, 25 September 2019 |00:45 WIB
Hukum Menikahi Perempuan Hamil dalam Islam
Perempuan menikah (Foto: Shutterstock)
A
A
A

Lazimnya seorang perempuan hamil setelah menikah sehingga status anaknya sah dan jelas. Namun, sebagian ada yang mengalami 'kecelakaan' sehingga hamil di luar nikah, akibatnya tak jarang status perempuan dan calon bayinya dipertanyakan.

 Menikah dengan perempuan hamil

Sedihnya, tak jarang pria yang menghamili lari dari tanggung jawab alias kabur. Akhirnya ada pria lain yang berbaik hati dan rela menikahi perempuan hamil karena berzina.

Lalu apakah boleh menikahi perempuan yang sedang hamil karena zina?

Salah satu guru agama di Pondok Pesantren Al-Masthuriyah, Ustadz Muhammad Sulaiman Nur mengatakan, menikahi perempuan yang sedang hamil hukumnya tidak sah di mata agama karena statusnya adalah hamil di luar nikah.

"Hukum menikahi wanita yang sedang hamil itu tidak sah. Sesuai dengan Firman Allah SWT QS. At-Thalaq ayat 4," kata ustadz yang akrab disapa Kang Sule saat dihubungi Okezone, Selasa (24/9/2019).

Dalam Surat At-Talaq Ayat 4 Allah SWT berfirman:

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

Wal-la`i ya`isna minal-mahiḍi min nisa`ikum inirtabtum fa 'iddatuhunna salasatu asy-huriw wal-la`i lam yahidn, wa ulatul-ahmali ajaluhunna ay yada'na hamlahunn, wa may yattaqillaha yaj'al lahu min amrihi yusra.

Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.

Dari ayat di atas, dijelaskan bahwa seorang perempuan boleh dinikahi jika dia sudah melahirkan. Walaupun belum tuntas masa nifasnya, perempuan itu sudah sah untuk dinikahi.

Namun lain halnya, jika laki-laki atau perempuan itu memaksa menikah meskipun si perempuan masih dalam keadaan hamil. Maka pernikahannya harus diulangi kembali karena kembali lagi dengan peraturan di awal, perempuan bisa dinikahi apabila sudah tidak dalam keadaan mengandung.

"Kalau dia memaksa nikah saat sedang hamil maka dia harus mengulangi pernikahannya. Ditambah jika berhubungan badan dengan laki-lakinya, selama itu dikategorikan maksiat," paparnya.

Sementara itu dilansir dari laman Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah, ada lima pendapat menikah perempuan yang berzina atau hamil di luar nikah. Yaitu di antaranya:

1. Mutlak tidak sah

Dikatakan pula oleh Ali, Aisyah, dan Bara’ ibn ‘Azib. Serta masing-masing satu riwayat Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan Hasan Bashri (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, al-Mughni Ibnu Qudamah 7/518, Tafsir al-Alusi 13/326). Pandangan ini didasarkan pada QS. An-Nur: 3, yakni,

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin."

2. Mutlak sah

Kemudian asy-Syafi’ie dan madzhabnya (al-Hawi al-Kabir 9/497-498). Di kalangan Syafi'iyah berargumen pada ayat 24 QS. An-Nisa:

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ

"Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian."

Ayat tersebut turun setelah menjelaskan perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi. Selain wanita yang telah disebutkan halal atau sah dinikahi, termasuk wanita yang berzina. Dikuatkan dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ

"Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan/menjadikan mahram pada (orang) yang halal.” (HR. ibnu Majah dan Baihaqi).

Abu Bakar berkata: Bila seseorang menzinai wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk menikahinya.

Sedangkan jika dilihat dari Surat An-Nur Ayat 3, al-Mawardi (al-Hawi al-Kabir 9/494) menyebutkan, ada tiga takwilan (tafsiran) terhadap ayat tersebut:

Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu Mahzul, yakni ketika ada seorang laki-laki meminta izin Rasulullah akan wanita pelacur bernama Ummu Mahzul.

Ibnu Abbas mengartikan kata ‘yankihu’ dengan ‘bersetubuh’, sehingga maksud ayat tersebut: "Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh melainkan (dengan) perempuan yang berzina dan seterusnya."

Menurut Sa’id ibn Musayyab telah dinasakh oleh QS. An-Nisa ayat 3:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi."

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement