5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita istibra’ dan telah bertaubat.
Didukung pula oleh Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn Hanbal, dan Ishaq (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, Tafsir Ibnu Katsir 6/9-10). Ibnu Qudamah (Syarhu Kabir 7/504) menjelaskan bahwa sesuai bunyi terakhir ayat 3 surat An-Nur, ‘wa hurrima dzalika ‘alal mukminin’, keharaman menikahi pezina diperuntukkan bagi orang mukmin (yang sempurna) sehingga ketika perempuan ini bertaubat dari zina, leburlah dosa. Kemudian kembali menjadi bagian dari orang-orang mukmin, dan hukum haram baru bisa terhapus. Sebagaimana hadits:
التائب من الذنب كمن لا ذنب له
"Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya” (HR. Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi).
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar, “Jika keduanya telah bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih)” (Al-Muhalla 9/ 475).
Oleh karena itu dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita pezina dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya, ataupun orang lain. Dari sudut pandang Syafi'iyah karena hamil hasil zina tidak ada kehormatan apapun yang perlu dijaga, seperti percampuran nasab. Dari perspektif ulama lainnya karena telah disyaratkan tidak adanya hubungan badan.
Disebutkan dalam Bughyah:الكتاب : بغية المسترشدين ص419
(مسألة : ي ش) : يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة.
Juga dalam Mughni Ibnu Qudamah:
[ المغني - ابن قدامة ] ج7 ص518
فصل : وإذا وجد الشرطان حل نكاحها للزاني وغيره
Jadi jika dilihat kembali pada kasus awal, apakah nikahnya harus diulang? Maka jawabannya jelas tidak. Sebab menurut Syafi'iyah dan satu riwayat Abu Hanifah, nikahnya telah sah sejak awal.
(Dyah Ratna Meta Novia)