Kekhawatiran tentang program standardisasi dai
Ketua Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI) Bidang Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga, Maria Ulfah Anshor menilai urgensi program tersebut perlu dikaji lebih dalam.
Menjadi dai menurut Ulfah, tidak seperti jenis profesi lain yang diemban setelah melewati jenjang pendidikan formal, status keulamaan seseorang belum bisa dinilai karena tidak memiliki tolok ukur yang jelas.
"Sesungguhnya (status) ulama atau dai itu adalah pemberian, semacam penghargaan dari masyarakat, menyebut dia ulama karena dia punya keahlian, dia punya keilmuan yang dalam," ujar Ulfah.
"Nah, siapa yang bertugas mensertifikasi keulamaan orang ini? Menurut saya disiplin pendidikannya," ujar Ulfah.
Seperti dilansir BBC, pendapat Ulfah senada dengan Pimpinan Majelis Ar Raudhah Surakarta, Habib Novel Alaydrus. Ia menilai sertifikasi ulama atau dai dapat menggunakan indikator latar belakang pendidikan yang bersangkutan.
"Jika itu memang lulusan dari pesantren, yang jelas pesantrennya, kemudian juga kalau dia punya majelis, yang jelas majelisnya, dengan tujuan untuk memberikan jaminan ke masyarakat kalau yang berbicara ini betul-betul ulama yang punya keilmuan, maka itu positif-positif saja," kata Novel.
Lebih jauh, Novel menilai semestinya MUI mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ulama.
"Definisi ulamanya itu apa? Nggak setiap orang berbicara kan ulama. Justru yang jelas tempatnya ulama kan pesantren," kata Novel.
"Kalau sekarang kan liar nih, semua pada ceramah. Artis ceramah, ini ceramah, kemudian sebentar-sebentar buat pendapat di medsos misalnya, siapapun itu dan apapun itu, tapi ndak punya latar belakang pendidikan yang jelas," ungkapnya.
Novel sendiri tidak berencana untuk mendaftarkan dirinya ke dalam program sertifikasi tersebut.
(Dyah Ratna Meta Novia)