فَأَمَّا إِنْ كَانَ الطَّيْرُ فِي بُرْجِ مَالِكِهِ : فَإِنْ كَانَ بَابُ الْبُرْجِ مَفْتُوحًا لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ : لِأَنَّه قَدْ يَقْدِرُ عَلَى الطَّيَرَانِ فَصَارَ فِي حُكْمِ مَا طَارَ ، وَإِنْ كَانَ بَابُ الْبُرْجِ مُغْلَقًا جَازَ بَيْعُهُ لِظُهُورِ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ وَتَسْلِيمِهِ بِالتَّمْكِينِ مِنْهُ فِي بُرْجِهِ ، وَتَمَامِ قَبْضِهِ بِإِخْرَاجِهِ مِنْ بُرْجِهِ
Artinya, “Adapun jika burung itu di kandang pemiliknya, maka dilihat dulu. Jika pintu kandang terbuka, maka burung tidak boleh dijual karena ia berpotensi terbang. Jadi, status burung itu seperti burung lepas. Tetapi jika pintu kandang tertutup, maka burung itu boleh dijual karena jelas kuasa pemilik atas burung, dapat menyerahkannya di dalam kandang, dan sempurna qabadh (serah-terima dalam akad) dari kandangnya,” (Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir fi Fiqhi Mazhabil Imamis Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 327).
Ibnu Qudamah dari kalangan Mazhab Hanbali berpandangan serupa dengan Al-Mawardi. Dalam karyanya, Al-Mughni, Ibnu Qudamah menambahkan bahwa jual-beli burung tidak boleh dilanjutkan jika burung harus ditangkap dengan susah dan payah (mungkin di kandang terlalu besar atau di luar kandang) karena ketiadaan kemampuan pemiliknya dalam menyerahkan produk itu kepada pembeli. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz VIII: 367).