Sedangkan, Syekh Al-Bahuti dari mazhab Hanbali menulis:
وَسُنَّ تَلْقِيْنُهُ أَيْ: الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ عِنْدَ الْقَبْرِ؛ لِحَدِيْثِ أَبِي أُمَامَةَ البَاهِلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ.
“Dan disunnahkan mentalqin mayit setelah dipendam di kuburan, karena hadits riwayat Abi Umamah Al-Bahili radhiyallahu anhu” (Mansur bin Yunus Al-Bahuti, Syarh Muntahal Iradat, juz 1, h. 374).
Kedua, sebagian ulama mazhab Hanafi menegaskan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya mubah. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan:
أَنَّ تَلْقِينَ الْمَيِّتِ مَشْرُوعٌ، لِأَنَّهُ تُعَادُ إلَيْهِ رُوحُهُ وَعَقْلُهُ، وَيَفْهَمُ مَا يُلَقَّنُ.
“Sesungguhnya mentalqin mayit itu disyariatkan, sebab ruhnya dikembalikan kepadanya, begitu pula akalnya. Dia memahami apa yang ditalqinkan (diajarkan)” (Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 3, h. 153).
Di antara ulama yang membolehkan mentalqin mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata:
تَلْقِينُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ لَيْسَ وَاجِبًا بِالْإِجْمَاعِ، وَلَا كَانَ مِنْ عَمَلِ الْمُسْلِمِينَ الْمَشْهُورِ بَيْنَهُمْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخُلَفَائِهِ. بَلْ ذَلِكَ مَأْثُورٌ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ؛ كَأَبِي أُمَامَةَ، وَوَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ. فَمِنَ الْأَئِمَّةِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ كَالْإِمَامِ أَحْمَدَ، وَقَدْ اسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ. وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَكْرَهُهُ لِاعْتِقَادِهِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ. فَالْأَقْوَالُ فِيهِ ثَلَاثَةٌ: الِاسْتِحْبَابُ، وَالْكَرَاهَةُ، وَالْإِبَاحَةُ، وَهَذَا أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ.
“Mentalqin mayit setelah kematiannya itu tidak wajib, berdasarkan ijma’, juga tidak termasuk perbuatan yang masyhur di kalangan umat Islam pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para khalifahnya. Tetapi, hal itu dicritakan dari sebagian sahabat, seperti Abi Umamah dan Watsilah bin Al-Asqa’. Karenanya, sebagian ulama membolehkannya, seperti imam Ahmad. Sebagian sahabat (murid) imam Ahmad, dan sahabat-sahabat imam Syafi’i mensunnahkannya. Sebagian ulama menghukuminya makruh, karena meyakininya sebagai bid’ah. Dengan demikian, ada tiga pendapat dalam hal ini; sunnah, makruh, dan mubah. Dan pendapat yang terakhir (mubah) merupakan pendapat yang paling adil” (Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Al-Fatawa Al-Kubra, juz 3, h. 356).