Selain itu, kelelawar merupakan binatang yang haram dibunuh, maka haram pula dimakan, sebab tidak mungkin memakan kelelawar tanpa membunuhnya.
Abdullah ibn Amr radhiyallahu anhu meriwayatkan sebuah hadits berbunyi:
لَا تَقْتُلُوا الضَّفَادِعَ فَإِنَّ نَقِيقَهَا تَسْبِيحٌ، وَلَا تَقْتُلُوا الْخُفَّاشَ فَإِنَّهُ لَمَّا خَرِبَ بَيْتُ الْمَقْدِسِ قَالَ: يَا رَبِّ سَلِّطْنِي عَلَى الْبَحْرِ حَتَّى أُغْرِقَهُمْ
"Janganlah kalian membunuh katak. Sesungguhnya kicauannya adalah tasbih. Dan janganlah kalian membunuh kelelawar. Sebab, ketika Baitul Maqdis dibakar, kelelawar itu berdoa kepada Allah ‘Ya Tuhan kami, kuasakan kami atas lautan sehingga aku bisa menenggelamkan mereka" (HR. Baihaqi).
Hanya saja, jika keadaan darurat memaksa seseorang untuk memakan kelelawar, seperti untuk mengobati penyakit, maka diperbolehkan memakannya menurut mazhab Syafi’i, selama tidak ada obat lain yang dapat menggantikannya.
Hal itu karena kemaslahatan sehat dan selamat lebih didahulukan dibanding kemaslahatan menjauhi hal-hal najis. (Izzuddin bin Abdissalam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 1, h. 146). Wallahu A’lam.
Demikian ditulis Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung, sebagaimana dikutip dari NU Online pada Senin (27/1/2020).
(Abu Sahma Pane)