Tugas berat sosial bagi Nabi Muhammad SAW di Madinah masih menumpuk. Beliau bukan saja harus melawan serangan fisik kelompok yang memusuhinya, tetapi juga struktur sosial yang membelenggu masyarakat.
Kelompok keluarga – mereka menyebutnya sebagai Bani – terpecah-pecah dalam golongan dan strata yang berbeda. Mereka yang berada dalam jalur nasab terhormat merasa tak layak bersanding bersama mereka yang hidup dalam jalur kemiskinan dan perbudakan. Betapapun sepuluh tahun Islam telah hadir dan membawa angin perubahan, darah kesukuan tetap kental mengalir di dalam tubuh bangsa Arab dan belum cukup untuk membuat mereka rela melepas atribut kesukuan dan keturunannya.
Pada suatu siang, Nabi Muhammad SAW berjalan ke rumah sepupunya, Zainab binti Jahsy. Beliau datang membawa serta rencana besar yang menggemparkan. Melamar Zainab untuk dinikahkan dengan anak angkat Rasulullah, Zaid bin Haritsah, mantan budak yang dimerdekakan.
Zainab sontak menolak. “Aku tidak ingin menikah dengannya,” katanya. Bukan hanya Zainab yang menolak, tetapi juga kakak laki-lakinya, Abdullah bin Jahsy.
Seorang perempuan dari galur terhormat, keturunan suku Quraisy dan Bani Hasyim, harus menikah dengan seorang lelaki – yang betapapun ia telah merdeka – memiliki jejak perbudakan dalam statusnya. Bagi keluarga Zainab, langkah ini terasa tak pantas, bahkan menjadi aib di tengah masyarakat.
Tetapi, memang demikianlah strategi sosial Nabi Muhammad SAW untuk memutus tali kekang struktur sosial yang tidak egaliter. Jauh sebelum Eropa menjunjung tinggi kesamarataan. Jauh sebelum masyarakat modern berteriak tentang keadilan akses, kesetaraan jender, dan kesamaan status. Dalam Islam, tidak ada keganjilan dalam ragam suku, warna kulit, kewarganegaraan, tempat lahir, apalagi status pekerjaan dan keluarga. Yang membedakan derajat mereka di sisi Allah SWT adalah ketakwaannya semata.