SUATU ketika, Nabi Muhammad SAW menaiki mimbar untuk berkhutbah. Tertunduk wajahnya saat menaiki anak tangga satu persatu. Lama ia beranjak dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya. Sahabat yang duduk paling depan mendengar beliau mengucapkan “Amin” di setiap anak tangga yang dipijaknya. Tiga kali.
Di anak tangga pertama, Beliau mengucap, “Amin.” Di anak tangga kedua, “Amin” lagi yang diucapkannya. Di anak tangga ketiga, beliau menutupnya pula dengan “Amin.” Lepas khutbah, sahabat di barisan depan itu bertanya, “Engkau mengucapkan ‘Amin’ tiga kali. Ada apakah gerangan?”
Nabi Muhammad SAW kemudian bercerita tentang Jibril yang datang kala itu. “Jibril berdoa,” katanya, “Celakalah orang yang menjumpai Ramadhan lalu dosa-dosanya tidak diampuni”. Maka, aku menjawab: “Amîn”. Ketika aku menaiki tangga mimbar kedua maka ia berkata: “Celakalah orang yang disebutkan namamu di hadapannya lalu tidak mengucapkan shalawat kepadamu”. Maka aku menjawab: “Amîn”.
Ketika aku menaiki anak tangga mimbar ketiga, ia berkata: “Celakalah orang yang kedua orang tuanya mencapai usia tua berada di sisinya, lalu keduanya tidak memasukkannya ke dalam surga”. Maka aku jawab: “Amîn”.
(Baca Juga : Tanda-Tanda Orang Diterima Puasanya oleh Allah SWT)
Cerita Rasulullah dan doa-dia yang diaminkannya itu membawa kita balik ke relung terdalam hati masing-masing. Menangkah kita, sukseskah kita? Terhapuskah dosa-dosa kita? Atau justru celakakah kita?
Lebaran kini menyimpan harapan kemenangan dan kesuksesan yang entah sungguhan atau fatamorgana. Kita menyiapkan pernak-perniknya dengan gegap gempita seperti kita telah tahu misteri masa depan selalu berupa kegembiraan dan kebahagiaan. Padahal, boleh jadi Lebaran tak pernah ada. Hari raya itu tak pernah datang. Kegembiraan itu fatamorgana belaka.
Jauh dari perayaan fisik dan materinya, Lebaran itu dijanjikan Allah SWT, lewat lisan Nabi Muhammad SAW, sebagai kegembiraannya orang-orang yang berpuasa. Farhataani, dua kegembiraan bagi para penempuh puasa.
Farhatun ‘inda fitrihi, kegembiraan ketika ia mencapai ujung pembukanya. Bukan karena telah selesai, bukan pula karena kewajiban yang sudah tunai. Kegembiraan itu datang karena ampunan yang Allah SWT obral sepanjang Ramadhan telah habis kita beli, kita borong dan kita bawa pulang ke rumah batin kita.
(Baca Juga : Begini Cara Sholat Subuh Jika Bangun Kesiangan)
Jika kegembiraan kita adalah kesenangan berbuka, lepasnya kewajiban, dan hilangnya dahaga sepanjang siang belaka, Lebaran itu benar-benar tidak ada. Ia sekadar fatamorgana. Indah dari kejauhan, dari tampilan dunianya, tetapi tak menjawab apapun dari kerisauan batin ketika berhadapan dengan Allah SWT nanti. Karena kegembiraan kedua yang kita nantikan dari puasa itu, farhatun ‘inda liqaa-a rabihi, kegembiraan ketika bersua dengan Allah SWT.
Puasa yang dibawa serta di pundaknya untuk disodorkan kepada Allah SWT: ini persembahanku untuk-Mu, ini buah cintaku kepada-Mu, ini yang Engkau sebut ibadah kemesraan antara diriku dan diri-Mu saja, dan ini yang tidak akan aku ambil sedikitpun darinya karena Engkau sudah mengklaim bahwa puasaku ini hanyalah untuk-Mu –bukan untukku, bukan untuk keluargaku, bukan untuk kelompokku, bukan untuk pengikutku, bukan untuk followers-ku, bukan untuk stasiun televisiku.