Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Tausiyah: Ketika Kening Bertakwa, Lidah Memfitnah

Tausiyah: Ketika Kening Bertakwa, Lidah Memfitnah
Sholat Berjamaah (Foto: Freepik)
A
A
A

PADA suatu subuh, Muadz menjadi imam sholat Fajr di masjid. Seorang lelaki Arab menjadi makmum di belakang Muadz. Rakaat pertama Muadz terasa panjang.

Lelaki Arab itu tampak kepayahan dan berusaha sekuat mungkin untuk bertahan berdiri. Gelisah, barangkali. Namun, di rakaat kedua, ia tak lagi tahan. Ia mufaraqah, keluar dari jamaah. Ia memutuskan sholat sendirian, tak lagi bermakmum kepada Muadz yang masih menjadi imam sholat di depan.

Riwayat itu muncul berbeda-beda. Sebagian mengatakan Muadz mengimami sholat Fajr, sebagian lagi mengatakan ia menjadi imam shalat Maghrib dan Isya. Ia memang terbiasa sholat berjamaah dua kali. Tak begitu penting di sholat yang mana Muadz datang dan menyodorkan diri untuk menjadi imam. Yang menarik justru peristiwa setelahnya.

Selepas sholat, Muadz tampak kecewa. Kepalanya penuh prasangka kepada lelaki Arab yang memisahkan diri itu. Innahu munafiq, kata Muadz. Muadz menuduhnya sebagai orang munafik. Terekam jelas dalam memori Muadz ketika Nabi Muhammad SAW pernah memberikan petunjuk:

(Baca Juga : Kisah Dokter Tirta Masuk Islam, Mimpi Keranda & Dengar Adzan Selama Sepekan)

laysa shalaatun atsqala ‘alal munaafiqiin min shalaatil fajri wal ‘isyaa. Yang merasa berat, tertahan-tahan tersuruk-suruk, dan sering meninggalkan sholat Isya dan Subuh adalah mereka yang kemungkinan besar terdera kemunafikan. Muadz menuduhkannya. Bagi Muadz, keluar dari jamaah sholat yang begitu panjang bacaannya adalah satu dari ciri mereka yang merasa keberatan.

Lelaki Arab itu ikut murka dengan tuduhan Muadz. Ia menghadap Nabi Muhammad SAW, mengadukan kekesalannya terhadap Muadz yang mencemarkan nama baiknya di tengah jamaah.

Ya Rasulullah, katanya memulai. Inna qawmun na’malu biaydiinaa wanasqiy binawaadhihina. Kami ini kaum yang bekerja keras dengan tangan dan kemampuan kami sendiri sepanjang siang dan malam. Tenaga kami sudah terkuras sedemikian hebat di ladang dan kebun. Mengapa pula Muadz datang kepada kami, menjadi imam, lalu membaca surat Al Baqarah?

(Baca Juga : Ingin Banyak Rezeki? Ikuti Cara Makan KH Hasyim Asy'ari)

Prasangka Muadz barangkali juga prasangka yang mendekam di kepala kita yang tengah diamuk semangat keagamaan. Ghirah kita meningkat. Bacaan kita menumpuk. Hafalan kita menggunung. Tirakat ibadah kita menanjak pesat. Ketika menjadi imam, kita ingin menunjukkan kualitas terbaik dengan memanjangkan dan memperbagus bacaan surah.

Ketika berkumpul bersama, kita penuhi lisan kita dengan nasihat, bahkan pengingatan keras yang tak pernah putus. Ketika melihat kekeliruan orang, kita merasa teramat perlu untuk mengoreksinya sesuai standar yang kita anut, bahkan menghukum mereka dengan pandangan-pandangan yang berkeliaran di kepala kita.

Kita kehilangan kearifan sosial yang semestinya kita tumbuhsuburkan dalam interaksi kemanusiaan dengan sesama manusia. Kita mengubur kearifan itu dengan standar yang kita patok sendiri sesuai kompatibilitas kemampuan diri kita. Anak yang belum sanggup, kita paksakan untuk menjadi mampu meski di wajahnya muncul rona penderitaan dalam beribadah.

(Baca Juga : Subhanallah! Inilah Orang yang Diizinkan Duduk di Dekat Kakbah yang Sepi)

Orang yang masih tertatih-tatih beragama, kita dorong untuk berlari sekuat tenaga meski kita melihat jelas keringatnya yang kepayahan. Orang yang belum menegakkan syariat dengan sempurna, kita tuduh dengan sebutan yang tak laik: fasik, munafik, bahkan kafir dan musyrik.

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement