Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Tausiyah: Ketika Kening Bertakwa, Lidah Memfitnah

Tausiyah: Ketika Kening Bertakwa, Lidah Memfitnah
Sholat Berjamaah (Foto: Freepik)
A
A
A

Dakwah dan ibadah bukan sekadar soal benar dan baik. Ia juga soal kepantasan dan kelayakan. Patokannya bukan belaka soal iman, Alquran dan hadits, tetapi pemahaman dalam memandang karakteristik sosial orang-orang di sekitar.

Memahaminya dan menyelami kearifan sosial butuh keterampilan. Kearifan tidak muncul begitu saja dari buku-buku teks, dari artikel di internet, dari postingan di media sosial. Kebijaksanaan terbit dari interaksi yang hangat dan luwes, yang dimulakan dengan kebesaran hati untuk menampung sebanyak-banyak kegembiraan dan kebahagiaan orang lain di dalam hati kita.

Di dalam kearifan itu, hukum menjadi perkara yang menyenangkan, tidak kaku dan terasa mengerikan. Dalam kebijaksanaan itu ada kebersamaan langkah untuk bersama-sama menapak ke surga, bukan saling menyingkirkan satu sama lain.

(Baca Juga: Cek Arah Kiblat, 27 dan 28 Mei Matahari Tepat di Atas Ka'bah)

Afattaanun anta? Nabi Muhammad mengulangnya hingga tiga kali kepada Muadz. Apakah Muadz – dan kita – menjadi ahli fitnah?

Kita dengan mudah menuduh orang lain buruk karena tak menuruti standar kita tanpa memahami konteks personal dan komunal mereka. Kita dengan gampang menyingkirkan orang lain dari jalan kebaikan karena tak sesuai dengan langkah gerak kaki kita tanpa tahu sebab dan latar belakang mengapa mereka melakukannya. Syariat kita sangkakan sebagai produk mutlak tanpa tahapan.

Hukum kita anggap sebagai ketukan palu final yang tak boleh diganggu gugat. Padahal, dakwah dan kebaikan adalah jalan panjang berliku yang di setiap tikungannya selalu ada hikmah dan pelajaran untuk dipahami.

Waraa-akal kabiir wa dzul haajah wadh dha’iif. Di belakangmu, Muadz – kata Nabi Muhammad SAW – ada orang-orang tua, ada orang-orang yang juga punya urusan lain, ada orang-orang yang lemah dan tak kuat mengikuti standarmu. Di sekeliling kita, ada orang-orang yang belum paham dengan sempurna, yang tak paham sama sekali, bahkan tak punya ide apapun tentang standar-standar yang kita patok tinggi bagi diri kita.

Tugas kita bukan sekadar showing off, mempertontonkannya, menunjukkan, mensuar-suarkannya, tetapi terlebih dahulu memahami psikologi, karakteristik, dan konteks sosial budaya mereka yang beragam.

Pada perkara yang substantif, tauhid, keyakinan kepada Allah, pilar keagamaan, Nabi Muhammad SAW memberi marka yang tegas. Tetapi, juga memberikan kelonggaran dalam ibadah. Nabi Muhammad SAW tidak hadir di Madinah dengan standar tinggi yang tak substantif. Beliau manusia biasa – yang dari kenormalannya kita belajar banyak tentang dinamika hidup dan syariat.

Kita mendapati ragam dan variasi riwayat yang bertebaran di sepanjang hidupnya sehingga – dalam kaidah fikih – menyebabkan ikhtilaf dan perbedaan rumusan hukum.

Idzaa shallaa ahadukum linnaasi, falyukhaffif. Kalau kita mengimami sholat bagi orang lain, maka ringankanlah bacaannya. Jika kita berada di tengah keluarga, pertemanan, jamaah, komunitas, maka ringankanlah standar agar dengan mudah mereka ikuti. Agar tak timbul di kepala mereka gambaran agama yang menyusahkan, menyengsarakan, dan menjadi beban yang memberatkan.

Agama ini harus tampil di hadapan kita dalam citranya yang mudah sehingga kita berlomba dan bersenang-senang mengarungi lautan cinta kita kepada Allah. Jangan sampai kening kita menjadi simbol ketaatan, tetapi lisan kita menjadi mercusuar fitnah bagi orang lain.

Dokter ahmad fuady

Oleh: dr. Ahmad Fuady, M.Sc.-HEPL

Peneliti di Erasmus University Medical Center, Rotterdam, Belanda. Penulis buku “Negeri Sukun: Kelakar Sang Kiai untuk Negeri”

(Muhammad Saifullah )

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement