Sedangkan hiasan batik di Alquran tulisan tangan Pangeran Diponegoro tersebut berdasarkan penelitian ternyata merupakan motif atau gaya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal ini sesuai dengan pembuatnya yang berasal dari Yogyakarta, yakni Pangeran Diponegoro.
"Ada tiga monumen yang ditinggalkan Pangeran Diponegoro yakni Alquran, tasbih, dan jubah. Alquran menunjukkan beliau ahli bidang agama, tasbih menunjukkan ahli wirid dan jubah menunjukkan sufi," paparnya.
Dahulu saat berlangsung perang melawan Belanda di Magelang, Pangeran Diponegoro selalu berdoa di sebuah musala di Dusun Kamal, Menoreh, Salaman. Sedangkan para prajuritnya diminta sembunyi di sebuah gua.
Lokasi yang digunakan untuk berdoa tersebut sekarang dijadikan pengimaman di Masjid Langgar Agung Diponegoro.
Masjid ini memiliki keunikan, yakni menaranya setinggi 25 meter yang didominasi warna hijau. Bangunan masjid dibangun sekitar tahun 1946 oleh ABRI (TNI) bersama dengan masyarakat sekitar.
Pembangunan tersebut sempat terhenti pada tahun 1965 karena meletus peristiwa pemberontakan G30S/PKI.
Pembangunan dilanjutkan lagi setelah sampai sekitar tahun 1972. Saat itu sempat terjadi kebingungan dalam penamaan tempat ibadah karena di lokasi yang berjarak sekitar 100 meter juga telah ada masjid agung.
"Akhirnya takmir pertama, yakni H Fathoni yang juga orang tua saya mengusulkan agar diberi nama Langgar Agung, karena sudah ada masjid. Tapi sebetulnya ini adalah masjid," ujarnya.