Namun para ulama berbeda pendapat, siapa yang paling berhak menentukan besarnya mahar? Wali ataukah pengantin wanita?
Pendapat 1
Pendapat pertama menyatakan pihak yang paling berhak menentukan nilainya adalah wali pengantin wanita. Jika maharnya nilainya di bawah umumnya nilai mahar yang ada di masyarakat (mahar mitsl).
Sebab urusan mahar, urusan pengantin wanita, sehingga dia tidak boleh menentukan sendiri.
Dalam Al-Mudawanah –kitab fiqh Malikiyah– dinyatakan:
فإن كانت بكرا فقالت: قد رضيت ، وقال الولي: لا أرضى – والفرض أقل من صداق مثلها -؟ قال: الرضا إلى الولي ، وليس إليها؛ لأن أمرها ليس يجوز في نفسها
Jika dia gadis, dan mengatakan, "Saya setuju." Sementara wali mengatakan tidak setuju, dan mahar kurang dari nilai mahar mitsl, menurut Ibnul Qosim, persetujuan kembali kepada wali, bukan ke si pengantin. Karena urusan dirinya, tidak boleh dikembalikan ke pribadinya. (Al-Mudawwanah, 2/153)
Namun jika mahar itu senilai mahar mitsl, maka persetujuan kembali kepada pihak wanita.
قال ابن القاسم: ولو كان الذي فرض الزوج لها هو صداق مثلها ، فقالت: قد رضيت وقال الولي: لا أرضى ، كان القول قولها ، ولم يكن للولي ههنا قول
Ibnul Qosim mengatakan, "Jika yang mahar yang disediakan suami untuk si istri adalah mahar mitsl, lalu istri menyatakan setuju. Sementara wali menyatakan tidak setuju, maka persetujuan yang dianggap adalah persetujuan istri. Dalam hal ini, wali tidak punya hak pendapat." (Al Mudawwanah, 2/153)