Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Menikahi Wanita yang Ditinggal Pergi Suami, Ini Hukumnya Menurut Islam

Hantoro , Jurnalis-Jum'at, 26 Januari 2024 |12:26 WIB
Menikahi Wanita yang Ditinggal Pergi Suami, Ini Hukumnya Menurut Islam
Ilustrasi hukumnya menurut Islam menikahi wanita yang ditinggal pergi suami. (Foto: Freepik)
A
A
A

INI hukumnya menikahi wanita yang ditinggal pergi suami menurut Islam. Dalam ilmu fikih, suami yang pergi hingga tidak diketahui keberadaannya dalam waktu yang cukup lama dikenal dengan istilah mafqud. 

Hilangnya kabar keberadaan suami dapat disebabkan pergi tanpa kabar, menjadi korban bencana yang jasadnya tidak ditemukan, dan lain sebagainya.

Dihimpun dari Kemenag.go.id, Tim Layanan Syariah Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama menjelaskan dalam kondisi seperti itu terdapat dua pendapat dari kalangan ulama.

Pendapat pertama, si wanita harus menunggu hingga diyakini ikatan pernikahannya dengan si suami telah terputus, baik karena kematian suaminya, telah ditalak suaminya, atau sejenisnya. Kemudian dia telah menjalani masa iddahnya.

Hal ini mengingat hukum asal dalam kasus tersebut adalah si suami masih hidup dan status pernikahannya masih berlaku secara menyakinkan sehingga tidak dapat dianggap batal kecuali secara meyakinkan pula.

Demikian pendapat Imam As-Syafi'i dalam Qaul Jadid:

قوله (وَمَنْ غَابَ) بِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ) أَيْ يُظَنَّ بِحُجَّةٍ كَاسْتِفَاضَةٍ وَحُكْمٍ بِمَوْتِهِ (مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ) أَوْ نَحْوُهُمَا كَرِدَّتِهِ قَبْلَ الْوَطْءِ أَوْ بَعْدَهُ بِشَرْطِهِ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَيَاةِ وَالنِّكَاحِ مَعَ ثُبُوتِهِ بِيَقِينٍ فَلَمْ يَزُلْ إلَّا بِهِ أَوْ بِمَا أُلْحِقَ بِهِ

"(Suami yang menghilang) karena pergi atau sebab lain (dan terputus beritanya, maka istrinya tidak boleh menikah lagi sampai diyakini) yakni diduga kuat berdasarkan hujjah, seperti berita luas atau dinyatakan mati secara hukum (kematian atau talaknya) atau semisalnya, seperti murtadnya sebelum atau sesudah terjadi persetubuhan dengan syaratnya, kemudian si istri menjalani iddah. Sebab, hukum asalnya adalah si suami masih hidup dan pernikahan tetap sah secara yakin sehingga hal ini tidak bisa hilang kecuali dengan berita yang yakin pula atau yang disamakan dengannya." (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj pada Hawasyais Syarwani wal 'Abbadi, (Beirut, Darul Kutub Al 'Ilmiyah: 1996), Cetakan Pertama, Jilid X, Halaman 456) 

Pendapat kedua, si wanita harus menunggu sampai lewat masa 4 tahun qamariyyah dan kemudian melakukan iddah selama 4 bulan 10 hari.

Masa 4 tahun digunakan standar karena merupakan batas maksimal usia kehamilan. Sedangkan perhitungannya dimulai sejak hilangnya keberadaan suami atau keputusan hukum dari hakim atas kematian suami.

قوله (وَفِي الْقَدِيمِ تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ) قِيلَ مِنْ حِينِ فَقْدِهِ وَالْأَصَحُّ مِنْ حِينِ ضَرْبِ الْقَاضِي فَلَا يُعْتَدُّ بِمَا مَضَى قَبْلَهُ (ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةٍ وَتَنْكِحُ) بَعْدَهَا اتِّبَاعًا لِقَضَاءِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِذَلِكَ وَاعْتُبِرَتْ الْأَرْبَعُ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ مُدَّةِ الْحَمْلِ.

"(Menurut Qaul Qadim, ia harus menunggu selama 4 tahun), menurut satu versi: 4 tahun itu dihitung sejak hilangnya si suami. Sementara menurut versi Al-Ashhah, dihitung sejak ada keputusan dari hakim, maka waktu yang berlalu sebelumnya tidak di hitung. (Kemudian ia menjalani iddah sebagai wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu boleh menikah) setelahnya. Demikian karena mengikuti putusan hukum Umar Radhiyallahu anhu dalam kasus tersebut. Penggunaan acuan 4 tahun, mengingat masa tersebut merupakan batas maksimal masa kehamilan." (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, Cetakan Pertama, Jilid X, Halaman 457)

Pendapat Qaul Qadim Imam As-Syafi'i rahimahullah ini selaras dengan riwayat pendapat ulama lainnya. Dari generasi sahabat seperti 'Umar bin Al-Khattab, Ibnu 'Abbas, Ibnu 'Umar, 'Utsman bin 'Affan, dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhum. Sedangkan dari generasi tabi'in ada An-Nakhai', Atha', Az-Zuhri, Makhul, dan As-Sya'bi.

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ وَعُثْمَانَ قَضَيَا بِذَلِكَ وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ قَالَا تَنْتَظِرُ امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ أَرْبَعَ سِنِينَ وَثَبَتَ أَيْضًا عَنْ عُثْمَانَ وَابْنِ مَسْعُودٍ فِي رِوَايَةٍ وَعَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ كَالنَّخَعِيِّ وَعَطَاءٍ وَالزُّهْرِيِّ وَمَكْحُوْلٍ وَالشَّعْبِيُّ

"Diriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab, sungguh Umar dan Utsman pernah memutuskan hukum demikian. Dengan sanad shahih, Sa'id bin Manshur meriwayatkan dari Ibn Umar Radhiyallahu anhu dan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, keduanya berkata, 'Istri mafqud harus menanti 4 tahun.' Riwayat ini ada pula yang berasal dari Utsman dan Ibnu Mas'ud, dan dari sekelompok tabi'in semisal An-Nakha'i, Atha', Az-Zuhri, Mahkul, dan As-Sya'bi." (Ibnu Hajar Al 'Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, (Beirut, Darul Kutub Al 'Ilmiyyah, tanpa tahun), Jilid IX, Halaman 538)

Dengan demikian, hukum menikahi wanita yang ditinggalkan suaminya dibolehkan dengan mengacu pada dua pendapat. Pertama, wanita harus meyakini bahwa dia telah putus hubungan dengan suaminya entah karena kabar kematian, kabar ditalak, dan sejenisnya, selanjutnya menjalani masa iddah.

Kedua, wanita harus menunggu sampai 4 tahun sejak hilangnya keberadaan suami dan dilanjutkan dengan masa iddah selama 4 bulan 10 hari.

Wallahu a'lam bisshawab

(Hantoro)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement