MAKKAH - Di ketinggian 600 meter, di balik ribuan anak tangga yang menantang, tersimpan gua kecil tempat cahaya Islam pertama kali memancar ke seluruh dunia, yakni Gua Hira. Gua Hira di puncak Jabal Nur bukan sekadar destinasi ziarah, tetapi perjalanan spiritual menelusuri jejak agung Nabi Muhammad SAW saat menerima wahyu Ilahi.
Keringat, lelah, dan haru bercampur menjadi saksi betapa perjalanan menuju kemuliaan selalu menuntut perjuangan, sebagaimana Rasulullah SAW dahulu mendaki bukit terjal demi mencari kebenaran. Tim Media Center Haji (MCH) 2025 berkesempatan melakukan ziarah ke Gua Hira.
Tidak sendirian, tim MCH 2025 kali ini dipandu Mustasyar Diny yang juga dikenal sebagai pakar sejarah islam Oman Fathurahman pada Sabtu 14 Juni 2025. Tim MCH 2025 memulai perjalanan dari kaki Gunung Jabal Rahmah sekira pukul 02.30 Waktu Arab Saudi (WAS).
Jamaah haji yang mendaki Jabal Nur bersama kami terlihat antusias menapaki tangga demi tangga. Mereka mencoba meraih salah satu mimpi, yakni masuk ke dalam Gua Hira, tempat Rasulullah SAW pertama kali mendapatkan Wahyu dari Allah SWT melalui Malaikat Jibril.
Sekira 90 menit berselang atau pukul 04.00 WAS, tim MCH 2025 yang melewati ribuan anak tangga berhasil mencapai puncak Jabal Nur, tempat di mana Gua Hira berada. Meski lelah tak bisa dihindari, jamaah maupun kami begitu puas karena berhasil mendaki puncak Jabal Nur.
Setelah sampai di Jabal Nur, jamaah atau peziarah mesti turun sekitar 20 meter untuk masuk ke dalam lorong gua yang sangat sempit. Dibilang sempit karena hanya muat satu orang.
Peziarah harus menunduk untuk melewati gua ini. Gua ini merupakan satu-satunya jalan masuk menuju Gua Hira. Setibanya di Gua Hira, jangan heran jika hati Anda bergetar atau merinding. Sebab, di Gua Hira menjadi lokasi pertama Nabi Muhammad SAW mendapatkan Wahyu dalam hal ini QS Al-Alaq ayat 1-5 dan disampaikan oleh Malaikat Jibril.
Gua Hira juga tidak luas. Hanya 2-3 orang saja yang bisa masuk ke dalam gua ini. Di dalam gua ini terdapat batu dengan panjang satu meter yang dulunya digunakan Rasulullah saw untuk beristirahat.
Ketika Nabi Muhammad SAW melakukan khalwat di Gua Hira atau mengasingkan diri dalam kesendirian untuk mendekatkan diri kepada Allah, berzikir, merenung, dan bermuhasabah, menjauh dari keramaian dan hiruk-pikuk dunia, perjuangan sang istri, Siti Khadijah, juga tak bisa meremehkan. Siti Khadijah sering mengantarkan makanan kepada Rasulullah SAW yang sedang berkhalwat di Gua Hira.
Untuk sampai di Gua Hira, Siti Khadijah harus mendaki gunung terjal, belum ada anak tangga seperti saat ini. Semakin melelahkan karena kedua tangannya sembari membawa makan dan minum untuk Rasulullah SAW.
“Kita tahu, betapa susah payahnya Rasulullah SAW dulu. Kita saja yang berangkat tengah malam, di mana cuaca sedang tidak panas, masih merasa kelelahan. Apalagi zaman Rasulullah dulu belum ada fasilitas tangga dan titik-titik penyedia logistik seperti sekarang ini," kata Oman.
"Segala sesuatu itu tidak diperoleh dengan instan. Itu yang dilakukan Rasulullah. Bayangkan saja, Rasulullah mendaki ke Gua Hira setiap hari selama 1 bulan," kata Oman.
Di Gua Hira ini, Nabi Muhammad SAW bisa beribadah dengan tenang. Meski ukurannya kecil, Nabi Muhammad SAW bisa fokus beribadah karena terhindar dari kepanasan maupun kehujanan.
"Apabila hujan tidak kehujanan, dan apabila panas maka Beliau tidak kepanasan," kata Oman.
Satu keistimeaan lagi, Gua Hira menghadap langsung ke Kakbah. Gua Hira menghadap langsung ke zam-zam tower yang merupakan penanda mengarah ke Kakbah.
"Ini bisa menjadi pelajaran dan hikmah bagi kita. Bahkan kiblat itu sangat penting. Ajaran Islam menjadi penting untuk melakukan segala sesuatu," tutup pengasuh Ponpes Al-Hamidiyah, Depok ini.
(Ramdani Bur)