Terdapat pengecualian yang sering menjadi perdebatan, yakni apabila perceraian terjadi sebelum suami istri berhubungan badan (dukhul). Dalam kondisi ini, sebagian ulama menyatakan bahwa suami boleh menuntut sebagian dari mahar atau pengembaliannya, terutama apabila perceraian diajukan oleh istri tanpa alasan kuat.
Namun, dalam kasus cerai khuluk, di mana istri meminta cerai dengan membayar sejumlah tebusan (iwadl), tebusan ini adalah ganti atas pelepasan pernikahan dan berbeda dari mahar. Mahar tetap menjadi hak istri dan tidak boleh dituntut kembali oleh suami.
Sementara dalam hukum positif di Indonesia, kasus-kasus pengembalian mahar biasanya diputus berdasarkan keadaan nyata, hubungan suami istri, dan keputusan pengadilan agama. Umumnya, pengembalian mahar dibolehkan hanya jika suami menceraikan istri sebelum dukhul, dan hak istri atas mahar berkurang sesuai ketentuan.
Dari dalil-dalil tersebut, bisa disimpulkan bahwa mahar bukanlah barang dagangan yang dapat ditarik kembali oleh suami, melainkan hak perempuan yang harus dihormati sesuai syariat Islam.
(Rahman Asmardika)