JAKARTA - Kakbah merupakan bangunan suci dalam agama Islam. Dalam sejarahnya, Kakbah pernah nyaris runtuh.
Kakbah dibangun oleh Ibrahim dan Ismail. Pada saat Nabi Muhammad berusia 35 tahun, ia menyaksikan bangunan Kakbah nyaris runtuh dilalap api. Bara kecil dari wajan seorang perempuan menyambar kain kiswah, penutup Kaʿbah, lalu menjalar ke dinding batu hingga menghanguskan sebagian tembok dan melemahkan fondasinya.
Beberapa bulan kemudian, banjir besar menyapu lembah Makkah. Air bah dari gunung-gunung di sekeliling kota menumpuk di dataran rendah hingga merobohkan atap dan meretakkan dinding Kakbah. Rumah suci itu tinggal puing basah yang bercampur lumpur.
Kebakaran dan banjir itu membuat Kakbah dalam keadaan berserakan. Batu-batunya terlepas dari susunan, sebagian dindingnya miring, dan atapnya ambruk. Air bercampur lumpur memenuhi lantai di sekelilingnya, sementara kain kiswah yang hangus menempel di batu-batu yang menghitam.
Melansir laman Muhammadiyah, Kamis (16/10/2025), meski hidup di zaman penyembahan berhala, Quraisy masih mewarisi sebagian ajaran Ibrahim, terutama tentang kesucian Kakbah. Karena itu, mereka sepakat untuk membangun kembali rumah suci itu.
Namun, keputusan itu disertai rasa gentar. Mereka takut azab akan turun jika tangan-tangan manusia berani meruntuhkan sesuatu yang dianggap sakral.
Hingga akhirnya al-Walid bin al-Mughirah, seorang tua dari Bani Makhzum, maju memecah kebekuan. Ia mengayunkan palu ke dinding pertama. Tidak ada petir yang menyambar, tidak ada suara murka dari langit.
Namun, pada saat itu, tak seorang pun berani membantu al-Walid. Mereka menunggu hingga satu malam untuk memastikan al-Walid selamat dari kutukan yang mereka bayangkan. Ketika al-Walid masih hidup dan sehat keesokan harinya, barulah orang-orang Quraisy berani bergabung. Dimulailah pembangunan besar-besaran itu.
Pada waktu yang sama, dunia di luar Makkah sedang bergolak. Kekaisaran Romawi dan Persia saling menghancurkan. Sebuah gereja di Yaman hancur dalam perang, dan Kaisar Romawi mengirim kapal berisi marmer serta kayu terbaik untuk membangunnya kembali. Namun, badai besar memaksa kapal itu kandas di pelabuhan Jeddah.
Para awak kapal pasukan Romawi akhirnya menjual muatan berharga itu sebelum pulang ke negerinya. Kabar tentang penjualan marmer dan kayu terbaik itu sampai ke telinga Quraisy. Mereka segera mengumpulkan dana, membeli semua bahan, dan bahkan menyewa seorang tukang ahli dari Romawi. Dengan semangat baru, mereka mulai membangun Kakbah yang lama terbengkalai.
Ketika pembangunan hampir selesai, muncul persoalan siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad, batu hitam yang menjadi simbol kesucian Kakbah. Dua klan paling berpengaruh, Bani Abd Manaf dan Bani Makhzum, bersitegang. Sumpah darah diucapkan, pisau hampir dihunus. Lima hari mereka berhenti bekerja, lebih dekat pada perang saudara daripada ibadah.
Sampai akhirnya, kebijaksanaan datang dari arah yang tak disangka. Abu Umayyah, tetua Mekkah, mengusulkan agar keputusan diserahkan pada orang pertama yang masuk ke Masjidil Haram pagi itu. Semua menunggu, dan yang pertama muncul adalah Muhammad bin Abdullah. Saat itu, belum ada wahyu. Muhammad adalah al-Amin, orang yang dipercaya. Namun, reputasi moralnya membuat semua pihak lega.
Dengan ketenangan yang kelak menjadi ciri kenabiannya, Muhammad membentangkan selembar kain. Hajar Aswad diletakkan di tengahnya. Setiap kepala kabilah memegang satu ujung kain, lalu mereka mengangkatnya bersama. Muhammad mengambil batu itu dan menempatkannya di sudut Kakbah dengan tangannya sendiri.
Bangunan Ka’bah baru itu tidak sepenuhnya sama dengan rancangan Ibrahim. Quraisy membuatnya berbentuk persegi, bukan persegi panjang, karena bahan yang mereka miliki tidak cukup. Mereka juga meninggikan pintu Kakbah agar tidak semua orang dapat masuk dengan mudah. Di atasnya mereka pasang talang air agar banjir tak lagi merusak dindingnya.
Sejak saat itu, bentuk Kakbah tidak lagi berubah. Selama masa Nabi Muhammad hingga Khulafaur Rasyidin, bangunan itu tetap seperti rancangan Quraisy. Padahal Nabi ketika penaklukkan Mekkah pernah menyampaikan kepada ‘Aisyah keinginannya untuk mengembalikan Kakbah ke fondasi Ibrahim. Namun, beliau tidak melakukannya karena khawatir menimbulkan kegaduhan di kalangan orang yang baru meninggalkan jahiliah.
Setelah wafatnya Nabi, dunia Islam memasuki masa pergolakan politik. Di Makkah, Abdullah bin Zubair memimpin perlawanan terhadap Dinasti Umayyah. Ia menjadikan Mekkah sebagai pusat kekuasaannya. Ketika mendengar sabda Nabi tersebut, ia mewujudkannya secara harfiah. Kakbah pun dirombak menjadi persegi panjang seperti rancangan aslinya, dan pintunya diturunkan agar siapa pun dapat masuk.
Saat Dinasti Umayyah dipimpin al-Hajjaj bin Yusuf, ia menaklukkan Makkah. Batu-batu besar dari manjaniq (katepel) menghujani Kakbah. Rumah suci itu kembali runtuh, kali ini bukan oleh banjir atau api, melainkan oleh sesama Muslim. Setelah menguasai kota, al-Hajjaj membangunnya kembali seperti bentuk Quraisy dulu, persegi dengan pintu yang tinggi.
Beberapa waktu kemudian di era Imam Malik, seorang khalifah bertanya kepadanya apakah Kaʿbah sebaiknya dikembalikan lagi ke bentuk Nabi Ibrahim. Sang Imam menjawab dengan bijak, “Jangan. Aku tidak ingin Kakbah menjadi mainan para penguasa.” Sejak saat itu bentuknya tetap seperti yang terlihat hari ini.
Wallahualam
(Erha Aprili Ramadhoni)