Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Ketentuan Istri Gugat Cerai Suami, Simak Penjelasannya

Erha Aprili Ramadhoni , Jurnalis-Kamis, 30 Oktober 2025 |20:11 WIB
Ketentuan Istri Gugat Cerai Suami, Simak Penjelasannya
Ketentuan Istri Gugat Cerai Suami, Simak Penjelasannya (Ilustrasi/Freepik)
A
A
A

JAKARTA - Ada sejumlah ketentuan untuk seorang istri menggugat cerai suaminya. 

Pernikahan adalah ikatan suci di antara laki-laki dan perempuan dalam Islam. Agama mengajak setiap suami dan istri untuk berkomitmen menjaga langgengnya pernikahan. Beratnya badai permasalahan hidup tidak boleh sampai menghancurkan bahtera rumah tangga.

Namun, terkadang ikatan suci itu berakhir, termasuk saat istri menggugat cerai suami.

Belakangan, ramai isu aktris menggugat cerai suaminya. Teranyar adalah penyanyi Raisa menggugat cerai suaminya Hamish Daud serta Sabrina Chairunnisa yang menggugat cerai Deddy Corbuzier.

Melansir laman NU, Kamis (30/10/2025), ada 4 cara bagi istri untuk meminta cerai dengan suaminya. Berikut penjelasannya: 

1. Istri meminta cerai kepada suaminya. Ini adalah cara yang paling mudah akan tetapi membutuhkan keputusan suami untuk menjatuhkan talak. Seandainya suami tidak mau untuk menjatuhkan talak, maka perceraian tidak dapat terjadi. Perlu diingat bahwa agama islam melarang perempuan untuk meminta diceraikan tanpa alasan mendesak yang dilegalkan oleh syariat.  

Rasulullah SAW bersabda:

 قال رسول الله أيما امرأة سألت زواجها طلاقا في غير ما بأس فحرام عليها رئحة الجنة 
Artinya: “Rasulullah bersabda ‘Barang siapa yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab yang mendesak (al-ba’s) maka haram baginya (perempuan tersebut) bau harumnya surga,’” (HR Abu Dawud). 

Syekh Abdurrauf al-Munawi berkomentar “Maksud dari lafal al-Ba’s (البأس) dalam hadits ini adalah keadaan mendesak yang memaksanya menuju perceraian seperti kekhawatirannya (sang istri) tidak mampu memenuhi perintah Allah yang dibebankan kepadanya (sang istri) selama pernikahan,” (Al-Munawi Abdurrauf, Faidhul Qadir, [Mesir, Maktabah Tijariyah: 2002 M], juz III, halaman 137). 

 

2. Istri mengajukan khuluk kepada suami. Khuluk menurut syariat adalah jatuhnya talak dengan adanya timbal balik (‘iwadh) materi yang disepakati.  

Umumnya, khuluk terjadi karena keinginan istri untuk bercerai dari suaminya. Khuluk menurut qaul jadid mazhab Syafi’i adalah talak ba’in sughra di mana suami tidak boleh ruju’ dengan istri selama masa ‘iddah dan suami membutuhkan akad nikah yang baru agar dapat kembali kepada istri yang telah khuluk. (Syihabuddin Ar-Ramli, Fathur Rahman [Beirut: Darul Minhaj, 2009] halaman 780). 

Penyebutan (sighat) khuluk juga harus menyebutkan bentuk timbal balik (‘iwadh) yang diketahui nominalnya serta memiliki nilai ekonomi. Seandainya bentuk timbal balik (‘iwadh) tidak diketahui bentuknya (majhul) ataupun berupa barang yang najis seperti arak dan sejenisnya ataupun berupa barang yang tidak dilegalkan dalam syariat Islam maka ditetapkan ukuran mahar mitsl (mahar yang berpatokan kepada mahar kerabat perempuan sang istri) sebagai bentuk timbal balik (‘iwadh). 

Selain itu, khuluk yang diajukan istri termasuk akad ju’alah (sayembara) karena penyebutan (sighat) khuluk dari perempuan pada umumnya adalah “seandainya kamu mau menjatuhkan talak kepadaku, niscaya kamu akan mendapatkan harta sekian.” 

Oleh karena itu, khuluk yang diajukan istri sangat membutuhkan persetujuan dari suami, seandainya suami tidak mau menceraikan maka khuluk tidak dapat berakibat talak. (Al-Juwaini Abdul Malik, Nihayatul Mathlab [Beirut, Darul Minhaj: 2007 M], juz XIII, halaman 328). 

 

3. Istri mengajukan fasakh nikah kepada pengadilan agama. Umumnya fasakh nikah adalah istri mengajukan kepada hakim untuk menjatuhkan fasakh nikah karena suami tidak mampu menafkahi dengan paling sedikitnya nafkah dari harta yang halal. Misal, suami jatuh miskin hingga tidak mampu menafkahi sedikitpun ataupun suami mampu menafkahi tapi dari pekerjaan yang haram maka istri boleh meminta fasakh nikah kepada hakim. 

Menurut Ibnu Shalah, istri berhak mengajukan fasakh nikah seandainya suami meninggalkannya dan tidak diketahui keberadaannya serta tidak memberikan nafkah sedikitpun (Ad-Dimyathi Abu Bakar Syatha, ‘Ianah Ath-Thalibin [Beirut: Darul Fikr, 1997] juz IV, halaman 97). 

Sang istri juga diperbolehkan mengajukan fasakh nikah karena suami memiliki cacat fisik (‘aib) seperti mengalami impoten dan telah menunggu selama satu tahun. Selain itu, fasakh nikah juga dijatuhkan seandainya suami murtad ataupun tidak memenuhi syarat dan rukun dalam akad nikah. (Al-Imrani Abu Husain Yahya, Al-Bayan fi Mazhabil Imamis Syafi’i  [KSA: Darul Minhaj, 2000] juz IX, halaman 297). 

Di Indonesia, permintaan fasakh nikah oleh istri karena ditinggal pergi oleh suami tanpa kejelasan dan izin dari istri dapat diajukan ketika telah ditinggal pergi selama dua tahun. Hal ini sebagaimana dalam Pasal 39 UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berbunyi “Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dari pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena ada hal lain yang di luar kemampuannya.” 

Fasakh nikah karena cacat fisik juga telah tercantum dalam Pasal 39 UU.No.1/1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berbunyi “Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri”. Sedangkan, fasakh nikah karena suami murtad juga telah tercantum dalam Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.” 

 

4. Istri melaporkan kepada hakim terkait pertikaian ataupun bahaya yang dialami oleh istri dari perbuatan suaminya. Menurut ulama mazhab Syafi’I, hakim harus menasihati suami agar merubah sikapnya kepada istri dan hakim juga berhak menghukum (takzir) suami seandainya ia tidak merubah sikapnya terhadap istri. Seandainya perselisihan diantara suami dan istri bertambah parah, maka hakim dapat mengangkat satu perwakilan dari pihak suami dan satu perwakilan dari pihak istri untuk memusyawarahkan permasalahan keduanya atas izin suami dan istri. 

Konsepnya adalah suami mewakilkan kewenangan menjatuhkan talak dan menerima khulu’ kepada perwakilan dari keluarganya, sedangkan istri mewakilkan kewenangan mengajukan khulu’ kepada perwakilan dari keluarganya. Maka, kesepakatan perwakilan dari suami dan istri berhak memberikan keputusan talak, khulu', maupun tetap melanjutkan pernikahan suami dan istri tersebut. (Asy-Syirbini Muhammad bin Ahmad, Mughni Muhtaj ila Ma’rifati Alfadz Minhaj, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1994 M], juz IV, halaman 429). 

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

 وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلحا يفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا 

Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya (suami dan istri), maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai tersebut) bermaksud mengadakan perdamaian, niscaya Allah memberi petunjuk kepada keduanya (suami dan istri). Sungguh Allah Maha Mengetahui Maha Teliti,” (Qs An-Nisa’ ayat 35). 

Di Indonesia, penerapan Pasal 39 UU No 1/1974 jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang berbunyi “Antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” adalah sesuai dengan pendapat mazhab Maliki. Akan tetapi hal ini, setelah hakim memberikan nasihat dan bimbingan kepada suami agar tidak menyakiti istrinya. Apabila suami tetap menyakiti istrinya, maka hakim berhak menceraikan istri dari suaminya.

 وقيل لا تطلق نفسها إلا بعد الرفع للحاكم فإن الحاكم يزجره ابتداء بما يقتضيه اجتهاده من توبيخ أو سجن أو غيره فإن عاد لمضارتها قضي عليه بالطلاق 

Artinya: “Dan dikatakan bahwa perempuan tidak boleh menceraikan dirinya sendiri sebelum melaporkan kepada hakim karena hakim wajib memperingatkannya (suami) dengan keputusan yang sesuai dengan ijtihadnya seperti mencela (kejahatan), memenjarakannya (suami), dan sejenis. Apabila dia (suami) mengulangi perbuatan menyakitinya (istri) maka hakim berhak memutuskan cerai kepadanya (suami),” (Asy-Syinqiti Muhammad bin Ahmad, Lawami’ud Durar fi Hatki Astaril Mukhtashar, [Beirut: Dar Ridhwan, 2015 M], juz VI, halaman 644).


Simpulan di sini adalah syariat islam sangat menjaga agar sebisa mungkin tidak terjadi perceraian diantara suami dan istri. Akan tetapi, istri juga memiliki hak untuk melindungi dirinya dari kekerasan ataupun sifat buruk dari suaminya dengan mengajukan perceraian.


Wallahualam 

(Erha Aprili Ramadhoni)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement