Dengan demikian, pemahaman masyarakat soal "uang suami adalah milik istri, sedangkan uang istri adalah milik sendiri" menjadi salah apabila diartikan sebagai hak penuh istri atas seluruh uang suami. Kenyataannya, banyak keluarga memahami prinsip ini. Namun, alasan utama pengelolaan penuh oleh istri lebih terkait efisiensi dan pencegahan penggunaan uang untuk hal-hal yang tidak maslahat.
Dalam kerangka adab rumah tangga, Imam al-Ghazali juga menegaskan, istri tidak boleh menggunakan harta suami secara berlebihan:
ومن الواجبات عليها أن لا تفرط في ماله بل تحفظه عليه قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لا يحل لها أن تطعم من بيته إلا بإذنه إلا الرطب من الطعام الذي يخاف فساده فإن أطعمت عن رضاه كان لها مثل أجره وإن أطعمت بغير إذنه كان له الأجر وعليها الوزر
Artinya: “Termasuk kewajiban istri adalah tidak berlebihan atas harta suaminya, bahkan seharusnya dia menjaganya dengan baik. Raasulullah bersabda 'istri tidak boleh memberi makan orang lain dari harta suaminya kecuali atas seizinnya, begitu juga kecuali makanan yang berpotensi cepat basi jika tidak segera dikonsumsi. Jika istri menyedekahkan makanan suaminya atas ridhanya, maka dia mendapat pahala sama seperti suaminya. Namun, jika tapa izin suaminya, maka dia mendapat dosa, sedangkan suaminya mendapat pahala'.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 2016], jilid II, hlm. 81.).
Pandangan Imam al-Ghazali tersebut menunjukkan Islam menekankan pentingnya kejelasan otoritas dan tanggung jawab dalam pengelolaan harta keluarga. Suami memiliki hak kepemilikan atas hartanya dan istri berkewajiban menjaganya serta tidak menggunakannya tanpa izin.
2. Uang Istri Milik Suami?