Islam menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat untuk praktik poligami, terutama terkait keadilan. Dalam Surat An-Nisa ayat 129, Al-Qur’an menegaskan: “Kalian takkan mampu berbuat adil di antara para istrimu sekalipun kamu sangat menginginkan.”
Keadilan dalam konteks ini bukan hanya soal pembagian materi, tetapi juga mencakup perhatian emosional, keintiman, dan keseimbangan dalam perlakuan. Jika seorang suami tidak dapat menjamin keadilan dalam aspek-aspek tersebut, maka perintah Islam adalah monogami.
Pandangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah jelas dalam hal ini: seseorang tidak dianjurkan berpoligami tanpa keperluan yang jelas, karena poligami berpotensi menjatuhkan pelakunya dalam kezaliman (ketidakadilan). Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menyatakan: “Orang yang memiliki dua istri, tetapi cenderung pada salah satunya, maka di hari Kiamat ia berjalan miring karena perutnya berat sebelah.”
Menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan sebagian Syafi’i, istri memiliki hak penuh untuk mencantumkan syarat dalam akad nikah bahwa suami tidak boleh berpoligami. Syarat semacam ini secara hukum sah dan harus dipenuhi, karena tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Jika suami melanggarnya, istri berhak mengajukan cerai atau membatalkan akad.
Hal ini menunjukkan bahwa perempuan bukan pihak pasif dalam pernikahan, melainkan memiliki kontrol penuh atas relasi yang dibangun. Bahkan, dalam tataran normatif, tidak ada ketentuan yang mengharuskan istri meminta izin dari suami untuk tidak setuju dengan poligami. Keputusan tetap ada di tangan istri berdasarkan hak yang diberikan oleh syariat.