Beliau juga menolak pendapat Ibnu Jarir dan Asy-Sya'bi yang menyatakan bahwa shalat jenazah tetap sah meski tanpa disucikan, karena pendapat tersebut bertentangan dengan ijma‘ (kesepakatan ulama).
وَتَقَدَّمُ طُهْرِ الْمَيِّتِ كَمَا يَأْتِي، وَقَوْلُ ابْنِ جَرِيرٍ كَالشَّعْبِيِّ تَصِحُّ بِلَا طَهَارَةٍ رُدَّ بِأَنَّهُ خَارِقٌ لِلْإِجْمَاعِ وَابْنُ جَرِيرٍ وَإِنْ عُدَّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ لَا يُعَدُّ تَفَرُّدُهُ وَجْهًا لَهُمْ كَالْمُزَنِيِّ
Artinya: “Didahulukannya kesucian mayat sebagaimana penjelasan selanjutnya, dan pendapat Ibnu Jarir sama seperti pendapatnya asy-Sya'bi, yaitu bahwa shalat sah tanpa bersuci ditolak karena pendapat tersebut menentang ijma (konsensus ulama). Dan Ibnu Jarir, meskipun termasuk ulama Syafi'iyyah, pendapatnya yang menyendiri itu tidak dianggap sebagai pandangan dalam mazhab mereka, sebagaimana al-Muzani.” (Tuhfatul Muhtaj, [Beirut: Darul Kutub Al–Ilmiyah, 2001], juz I, hlm. 412).
Dengan demikian, shalat ghaib untuk korban bencana hukumnya dirinci sebagai berikut:
Oleh karena itu, kepedulian kita kepada para korban bencana dapat diwujudkan dengan tindakan lain, seperti mendoakan dan ikut berdonasi.
Wallahu a’lam.
(Rahman Asmardika)