PADA tulisan sebelumnya dikemukakan bahwa Qalbu adalah sentral ruhani manusia yang berfungsi mengenal, berpikir, dan menganalisa ayat-ayat Allah.
Ungkapan ini merupakan fungsi utama dari qalbu manusia untuk memahami pesan-pesan ilahi yang tersurat dan tersirat. Di saat seseorang membaca teks Alquran, maka ia sedang membaca pesan Allah yang tersurat. Namun sayang sekali, pembacaan teks yang tersurat itu kebanyakan hanya berhenti pada hal-hal formal dan berujung kepada orientasi pahala. Meskipun itu dibenarkan dalam ranah motivasi, tetapi tujuan dari Alquran sebagai petunjuk manusia belum dicapai.
Pembacaan dengan orientasi sekedar mendapatkan pahala per huruf, baru memfungsikan organ fisik, yaitu mata, rongga mulut sebagai tempat keluar huruf (makhārij al-ḥurūf), dan suara. Kemunduran umat-umat terdahulu adalah ketika pembacaan teks Suci hanya dilakukan dalam formalitas ritual, tetapi minim penghayatan intelektual dan spiritual.
Di dalam Surat al-Jumu‘ah, mereka disindir oleh Allah dengan ungkapan yang sangat keras, “Perumpamaan orang yang diberikan Kitab Taurat lalu tidak mau menerima bebannya, seperti Himar (keledai) yang memikul Asfār (lembaran-lembaran). (QS. Al-Jumu‘ah 62: 5). Pembacaan pada tahapan tersebut tidak ideal dikarenakan belum memfungsikan Qalbu. Lalu apa fungsi Qalbu dalam membaca pesan-pesan Allah. Inilah yang akan menjadi pembahasan kita pada tulisan kali ini.
Secara umum, Qalbu mempunyai 2 fungsi utama. Mari kita lihat, apakah sudah benar-benar memaksimalkannya atau malah membiarkannya “menganggur”. Pertama, Qalbu sebagai fungsi intelektual, yaitu berpikir (‘aql) dan memahami (tafaqquh). Kedua, Qalbu sebagai fungsi spiritual, yaitu kepercayaan (īmān) dan mengingat (dzikr).
Dua fungsi Qalbu ini mesti difungsikan dengan seimbang, sehingga membedakan manusia dengan makhluk ghaib bernama Malaikat, dan begitu juga membedakannya dengan makhluk fisik bernama hewan. Oleh karena itu, Imam Zarrūq al-Fāsī dalam kitab Qawā‘id menukil ungkapan, “Siapa yang memahami agama secara intelektual tapi tidak mempercayainya secara spiritual, maka ia adalah orang yang fasik (munafik). Adapun sebaliknya, yang mempercayainya secara spirital tapi tidak memahami secara intelektual, maka ia adalah orang yang zindiq (sesat).”