Jasa para ulama dan muassis Nahdlatul Ulama (NU) dalam pembentukan karakter beragama di Nusantara tidak bisa dipungkiri lagi. Karya monumental para ulama di antaranya dalam wujud kitab-kitab yang sangat kental mewarnai pemahaman dan perilaku beribadah serta bermuamalah dalam kehidupan sehari-hari.
Kitab-kitab Sullamu al-Taufiq, Washaya, dan syarah-syarahnya karya ulama Nusantara Syeikh Imam Nawawi Al-Bantani mampu menjadi pegangan mayoritas umat Islam di Indonesia. Ini merupakan hal yang patut dilestarikan.
Kitab-kitab kecil ini dibaca dan senantiasa dipraktikkan dan diamalkan sepanjang hayat. Hal ini nampak terlihat sekali dalam perbedaan praktik beribadah dan bersikap umat Islam Indonesia saat berada di Masjidil Haram bersama jutaan Muslim dari berbagai penjuru dunia.
Sopan santun dalam aktivitas jemaah haji Indonesia di Kota Suci juga sangat terkenal. Ini hal yang baik dan mengharumkan nama bangsa.
“Jamaah Indonesia dalam berbagai kondisi masih berusaha shalat dengan berdiri. Shalat di Masjidil Haram mencari lokasi yang benar-benar suci,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, H Abdul Mun’im DZ saat Doa Bersama untuk kemerdekaan RI ke-74 di lantai 4 Bukit Marwa Masjidil Haram, Jumat (16/8/2019).
Seperti dilansir NU Online, ciri khas ini harus terus dipertahankan sebagai identitas luhur Islam Nusantara. Syukur, doa, dan ungkapan terima kasih juga harus terus dipanjatkan dengan terus mengirimkan doa terhadap para ulama dan penulis kitab-kitab tersebut.
“Apalagi saat ini kita berada di Makkah yang menjadi tempat mustajabah dan menjadi awal perjuangan muassis Nahdlatul Ulama,” katanya Haji Abdul Mun'im.
Kiai Mun’im juga menekankan pentingnya warga NU untuk berkhidmah dengan berorganisasi. Pentingnya berorganisasi ini juga menjadi titik tekan pertama Hadratusy Syeikh KH Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi.
“Hakikat NU adalah Qanun Asasi. Sumber tertinggi di NU adalah qanun asasi setelah Al-Qur’an dan Hadits. Mari baca dan telaah kembali karya Mbah Hasyim Asy’ari yang merupakan seorang aktivis dan ahli manajemen,” jelasnya sekaligus menekankan pentingnya menjaga orisinalitas qanun sekaligus perlunya menyusun syarah-nya.
Menurutnya, organisasi (jamiyyah) sangat penting karena menjadi penguat agar tidak mudah terbawa arus pemahaman keagamaan yang saat ini deras mengalir.
"Kalau warga NU tidak ikut wadah atau organisasi NU maka akan mudah terbawa arus. Di pesantren, Aswaja diajarkan. Namun, perlu diperkuat dengan pentingnya berjamiyyah bersama Nahdlatul Ulama,” pungkasnya.
(Dyah Ratna Meta Novia)